Originally writen by Exobubz
Translated by violetkecil and mongguu
Genre: Angst| Rated: PG-17 | Length: Oneshot |Cast : Chanyeol dan Baekhyun
Translated by violetkecil and mongguu
Genre: Angst| Rated: PG-17 | Length: Oneshot |Cast : Chanyeol dan Baekhyun
Chanyeol wanted a divorce. Baekhyun asked for a week.
Hanya tujuh bulan mereka berstatus
pacaran. Kebahagiaan mereka terukur dalam jumlah tawa yang mereka bagi,
jumlah malam-malam tanpa batas dimana mereka menghabiskan waktu di
lengan yang saling memeluk dan jumlah cinta yang mereka miliki untuk
satu sama lain. Ciuman-ciuman singkat di kampus sudah cukup untuk
mereka, karena saat-saat bersama yang dihabiskan saat malam lebih dari
sekedar cukup. Perlu waktu dua minggu untuk Chanyeol mengumpulkan
keberanian mendekati pria berambut cokelat yang ceria dan berpostur
tubuh mungil di salah satu kelasnya, tetapi hanya perlu satu detik untuk
Baekhyun mengatakan iya untuk apapun itu yang ditanyakan pria bertubuh
tinggi itu.
Dalam waktu sebulan, mereka mengenal satu
sama lain. Baekhyun adalah seorang penulis jurusan Bahasa Inggris dan
Jurnalistik, walaupun ia tidak memiliki rencana bekerja untuk majalah
ataupun surat kabar manapun. Ia lebih memilih menulis novel dan bekerja
mandiri. Chanyeol sendiri di jurusan Pemasaran dan Bisnis. Setiap orang
yang melihat mereka berpikiran bahwa keduanya tidak seperti pasangan.
Baekhyun memiliki pikiran yang terbuka dan selalu tersenyum, sedangkan
Chanyeol selalu memiliki wajah yang sejalan dengan sikap tenangnya.
Perbedaan-perbedaan mereka lebih dalam dari sekedar perbedaan jurusan
kuliah dan kepribadian. Baaekhyun menyukai kopi dengan susu dan gula,
dan ia menulis hal-hal dari situasi yang tidak mungkin dan penuh
fantasi. Chanyeol, di sisi lain, menyukai kopi hitam dan lebih memilih
hal yang bersifat praktikal dan realistis dibanding fantasi. Orang-orang
percaya bahwa pribadi Baekhyun yang terbuka dan menyenangkan tidak akan
pernah cocok dengan Chanyeol yang rasional dan penuh pertimbangan,
tetapi mereka salah.
Tujuh bulan penuh kesempurnaan, Chanyeol melamar pria mungil berambut coklatnya itu, Byun Baekhyun, mengatakan iya.
Mereka menunggu beberapa bulan sebelum
berjanji akan saling mencintai hingga kematian memisahkan mereka.
Setelah kelulusan dan pernikahan, mereka menemukan sebuah apartemen.
Kecil namun tidak menjadi masalah untuk mereka berdua. Sentuhan Baekhyun
membuat tempat itu menjadi terasa lebih seperti sebuah rumah, rumah
yang membuat Chanyeol kembali dengan hati senang setelah waktu kerja
yang cukup berat. Setiap malam ia memeluk Baekhyun dan membisikkan
janji-janji—rumah yang lebih besar dimana ia bisa mendekorasinya dengan
lebih bebas—tanpa batas. Dan setiap malam, Baekhyun akan tersenyum di
dada Chanyeol dan berterima kasih pada pria itu.
Kinerja dan kepribadian Chanyeol yang
menarik memungkinkannya untuk mendapatkan promosi jabatan dengan cepat.
Seiring dengan pemasukan yang bertambah, begitu juga jumlah uang di
rekening bank mereka. Suatu malam, Chanyeol dengan lembut menyingkirkan
laptop Baekhyun dari pria itu dan meletakkannya di atas meja kopi di
dekatnya. Kemudian ia berlutut di depan Baekhyun, dan menggenggam tangan
pria itu.
“Baek,” ucapnya perlahan, tidak
melepaskan pandangan dari Baekhyun. “Aku ingin membelikanmu rumah yang
selalu aku janjikan padamu hari itu.”
Dengan bibir gemetar, Baekhyun tergagap
dan kemudian mengangguk, melingkarkan lengannya di leher Chanyeol
sembali mengucapkan terima kasih. Malam itu mereka saling memeluk,
menyesapi setiap sentuhan, menyatukan tubuh dalam cinta—perlahan dan
begitu dalam.
▲
Rumah itu harus memfasilitasi apa yang
Chanyeol pikirkan diperlukan Baekhyun untuk pekerjaanya; damai dan
tenang. Mereka menemukan perumahan yang kecil namun sangat tenang jauh
di luar lingkungan sosial kelas atas; di dekat pedesaan. Ketika Chanyeol
menatap Baekhyun dan bertanya, “Apa yang kau pikirkan?” Ia sudah tahu
jawabannya.
“I love it, Yeol…”
Tersenyum, Chanyeol menggenggam tangan Baekhyun. “Then let’s get it.”
Sambil menatap Chanyeol, Baekhyun terlihat sedikit khawatir, “Tapi, ini sejauh satu jam dari tempat kerjamu.”
Chanyeol mengangkat bahu, “Jika kau
menyukai ini maka aku tidak masalah dengan hal itu. Hanya perlu
masing-masing enam puluh menit untuk pulang dan pergi. Bukan hal yang
mustahil untuk pulang pergi seperti itu.”
Setelah beberapa saat, Baekhyun bertanya
lagi—apakah ia benar-benar tidak masalah. Chanyeol mengangguk dan
kemudian kertas perjanjian sudah ditanda tangani.
▲
Rutinitas yang dilakukan Chanyeol adalah
pulang dan pergi dari tempat kerja, namun seiring dengan pekerjaan yang
semakin menumpuk, menyebabkan Chanyeol untuk bekerja lembur. Saat
rutinitas seperti itu terus berlanjut tanpa habisnya, membuat ia sulit
untuk bolak-balik setiap hari. Dia sering menemukan dirinya kelelahan
dan mata menjadi kabur saat mengemudi. Karena itu, ia harus minum kafein
sebelum mengemudi, yang akan menyebabkan dia kacau selama bekerja atau
membuatnya tidak bisa tidur setelah ia tiba kembali di rumah.
Baekhyun mulai merasa bersalah karena
menikmati kehidupan yang tenang, sementara Chanyeol bekerja keras untuk
memberinya kehidupan yang seperti itu. Setelah memikirkan tentang
beberapa alternatif, Baekhyun menemukan satu solusi yang paling mungkin
untuk permasalahan mereka.
“Chanyeol, mungkin sebaiknya kamu mencari
apartemen di kota,” saran Baekhyun dengan lembut di meja makan suatu
malam. Ketika ia menatap suaminya, ia melihat mata yang lelah menatapnya
balik.
“Kamu ingin aku mencari apa?” ujar Chanyeol, terdengar tidak percaya.
Sambil menghela nafas, Baekhyun
menatapnya prihatin, “Aku tidak suka melihatmu seperti ini, Yeol. Setiap
hari kau pergi kerja dengan tampang setengah hidup. Kemudian kau
pulang, dan justru terlihat lebih buruk. Kau menghabiskan waktu dua jam
hanya untuk pulang dan pergi. Waktu selama itu bisa kau gunakan untuk
tidur lebih…”
Dengan suasana hati yang buruk, Chanyeok mengusap ujung mata, “Baek, aku baik-baik saja.”
“Tidak, kamu tidak!” sangkal Baekhyun. “Dengarkan, sebuah apartemen bisa berarti—“
“Aku sudah mengatakan aku baik-baik saja, Baek,” ulang Chanyeol taegas. “Berhenti mengkhawatirkanku, damn it.”
Baekhyuun menjadi jengkel dengan sikap
acuh Chanyeol. Baekhyun meletakkan semua peralatan makan dan berdiri
dari meja, “Baiklah, apakah itu salah jika aku mengkhawatirkanmu?”
teriaknya dengan suara tegang.
Tidak seperti Bakehyun, Chanyeol tetap duduk di kursi. “Baek, duduklah.”
Dengan tangah terkepal, Baekhyun melotot, “Tidak. Chanyeol, kau tidak mendengarkanku. Aku hanya ingin membantumu.”
“Membantuku?” bentak Chanyeol.
“Tidak, Baek. Untukku, dengan kamu mencoba dan menyaranku untuk mencari
tempat terpisah untuk hidup terlihat seperti kau ingin aku pergi.” Waktu
tidur yang kurang dan fakta bahwa ia bekerja terlalu keras tidak
memberi efek baik kecuali membuatnya lebih jengkel.
Baekhyun tampak terkejut. “Bukan itu yang aku inginkan.”
“Pelankan suaramu, Baek,” geram Chanyeol. “Kau terlalu berisik.”
Frustasi, Baekhyun mendorong kursinya
dengan kasar, “Aku tidak ingin kau pergi! Kau benar-benar pria yang
membuat frustrasi, tapi sialnya, aku mencintamu! Jadi, ini menyakitkan
melihatmu menambah dua jam yang membebankan ke harimu hanya untuk
berpergian pulang dan pergi.”
Baekhyun menggigit bibirnya, “Itu sangat
mengakitkan, Yeol, tapi kau tidak melihatnya karena saat kau melangkah
ke dalam rumah, kau tertidur. Kau bahkan tidak melihatku lagi karena kau
begitu lelah.”
Untuk sesaat, Baekhyun menunggu respon,
namun Chanyeol tetap diam. Kemudian Chanyeol membuka suara, “Kau terlalu
berlebihan,” gumamnya.
Baekhyun merasa seperti dipukul. Jelas
pembicaraannya tidak ada yang menyentuh Chanyeol. Suaminya menolak untuk
mendengarkan dan bahkan berani menyebutnya ‘berlebihan’ ketika
kenyataanya, ia hanya mengungkapkan ras pedulianya. Dengan tubuh
bergetar, ia berbalik dan meninggalkan meja sebelum Chanyeol menyadari
butiran air mata yang begitu pahit terbentuk di matanya.
▲
Ketika pikiran Chanyeol kembali jernih,
ia memikirkan ulang permintaan Baekhyun kemarin malam. Ia mengakui
salahnya yang tidak memberikan Baekhyun kesempatan untuk mengatasi
permasalahannya, tapi akhirnya ia menyalahkan kurang tidurlah yang
menyebabkan kemuraman dan suasana hatinya yang tidak menyenangkan malam
itu. Setelah bersedia mendengarkan suaminya, Chanyeol mengetuk ruang
kerja Baekhyun yang tertutup dan terkunci.
“Baek, aku tahu kamu di dalam. Bukalah.”
Semenit berlalu, Chanyeol mengetuk lagi. “Baekhyun, bukalah pintunya.
Kita perlu berbicara dan membiarkanku berdiri di luar sini hanyalah
membuang waktu.”
Tidak berapa lama kemudian Chanyeol
mendengar Baekhyun membuka kunci pintu. Membiarkan dirinya masuk,
Chanyeol memperhatikan Baekhyun yang membelakanginya untuk kembali ke
mejanya. Chanyeol tidak senang dengan keputusan Baekhyun memberinya
perlakuan dingin, tapi ia menyadari bahwa ia pantas mendapatkan itu.
Tidak satupun dari mereka berbicara untuk beberapa saat hingga Chanyeol
meletakkan tangan di belakang kursi Baekhyun, bersandar padanya.
“Baek…” ucapnya lembut. “Kau tahu aku tidak suka ketika kau mengacuhkanku…”
Baekhyun menoleh—memberikan tatapan sedih namun juga marah, “Tapi ketika aku benar-benar peduli, aku berlebihan, bukan?”
Saat itu, Chanyeol menyesal tidak menahan
lidahnya malam sebelumnya. Ia tahu bahwa mereka berbeda. Baekhyun suka
mengungkapkan perasaannya—apakah itu berarti dengan ekspresi gerakan
tangan atau meninggikan suaranya, sementara dia lebih suka
memendamnya. Tapi terkadang ia lupa dengan kebiasaan Baekhyun, yang
membentuk sosok seorang Baekhyun, memandang rendah hal-hal kecil yang
menurutnya rumit, dan hasilnya justru melukai pasangannya.
Dengan wajah serius, Chanyeol memutar
kursi Baekhyun menghadapnya dan membuat pria itu berdiri. Ketika
Baekhyun menolak, Chanyeol menariknya sedikit lebih kuat hingga Baekhyun
mau tidak mau berdiri. Sambil memeluknya erat, Chanyeol membenamkan
wajah di puncak kepala Baekhyun.
“Aku tidak bermaksud seperti itu.” Chanyeol mengayunkan tubuh mereka ke kiri dan kanan, “Aku minta maaf, Baek,” lanjutnya.
Terasa begitu lama sebelum Baekhyun
akhirnya menggerakkan lengannya, pelan—menyentuh dada Chanyeol dengan
ujung jari sebelum melingkarkan lengan di pinggang Chanyeol, “Kau
benar-benar moody akhir-akhir ini, Yeol…”
Chanyeol mengerucutkan bibirnya. Ia tahu
suasana hatinya akhir-akhir ini sangat buruk—faktanya, selama
berminggu-minggu. Kekurangan waktu tidur dan bekerja lembur memberi
dampak yang buruk. Itu jelas untuknya, meskipun, dampak itu tidak hanya
terjadi pada dirinya dan juga tubuhnya, namun juga hubungannya dengan
Baekhyun. “Aku tahu, aku minta maaf.”
Untuk Chanyeol, tidak ada lagi yang bisa
ia lakukan selain meminta maaf. Ia tidak bisa membuat janji. Ia tidak
bisa berjanji akan pulang ke rumah lebih cepat, mengurangi pekerjaan,
atau tidur lebih banyak. Janji-janji seperti itu tidak bisa dilakukan
karena ia tidak tahu apakah ia bahkan bisa menepatinya. Lebih baik tidak
memberikan janji apapun sama sekali dibanding menjanjikan sesuatu yang
hampa.
Jika ia tidak mendengarkan atau ruangan
tidak setenang ini, Chanyeol tidak akan mendengar isakan Baekhyun.
Ketika ia mencoba memandangi wajahnya, Baekhyun justru memeluknya
semakin erat, menenggelamkan wajah di dada Chanyeol, tidak membiarkan
Chanyeol untuk memandanginya. Chanyeol berdiam diri dan hanya bergerak
untuk mengecup puncak kepala Baekhyun dengan lembut.
“Aku tidak seharusnya menghentikanmu,” aku Chanyeol. “Kau hanya mencoba untuk membantu.”
Keheningan berlalu sebelum Baekhyun mengangkat kepala, “Aku mengkhawatirkanmu. Kau tahu itu, kan?”
Chanyeol mengangguk.
“Terkadang aku berpikir memiliki rumah
sejauh ini adalah kesalahan. Di malam hari aku merasa bersalah, Yeol,”
ucap Baekhyun dengan suara bergetar. “Kau melakukan semua ini untukku
dan lihatnya kau seperti ini, aku—“
Chanyeol memotongnya dengan tatapan
tajam, “Berhentilah. Kau tidak berhak merasa bersalah tentang apapun.
Aku mencintaimu. Aku melakukan ini untukmu. Mengapa aku seperti ini
tidak ada hubungannya denganmu. Ini karena pekerjaan, jadi jangan
menyalahkan dirimu sendiri untuk keadaanku.”
“Tapi jika kita memilih rumah di kota, maka—“
“Akan tetap sama,” bantah Chanyeol. “Ini
masih akan terjadi dengan banyaknya pekerjaan dan permasalahan tak
beralasan yang aku hadapi sehari-hari. Ditambah, kamu tidak akan
memiliki kehidupan yang tenang yang kamu butuhkan untuk bukumu, dan aku
tahu seberapa pentingnya yang sedang kau kerjakan saat ini. Itu novel
perdanamu dan kamu tidak perlu adanya gangguan-gangguan. Itulah mengapa
kita di sini. Karena itu aku memilih tempat yang tenang. Aku melakukan
ini untukmu dan jika aku memiliki kesempatan untuk mengubahnya yang
terjadi ketika kita mencari rumah, aku tidak akan mengubah apapun,
karena aku menjanjikanmu sesuatu seperti ini dan aku mendapatkannya. Ini
surga kecil kita yang jauh dari perkotaan, Baek.”
Baekhyun menunduk sambil menggigit
bibirnya. Ia melepaskan lengan dari pinggang Chanyeol, justru,
menggenggam kemeja Chanyeol, “Perjalanannya terlalu jauh. Itu terlalu
lama. Kamu mengemudi sangat pagi dan larut malam. Aku tidak ingin
terjadi kecelakaan padamu karena kamu terlalu lelah untuk tetap membuka
mata,” ucapnya.
Dengan nafas tidak teratur, Baekhyun
menghela nafas dan memandang Chanyeol lagi, “Chanyeol, tolong pikirkan
untuk membeli apartemen sementara di kota. Tempat yang bisa kamu tuju
jika kamu merasa tidak sanggup pulang ke rumah.”
Chanyeol membuka mulut untuk berargumen,
tapi Baekhyun menatapnya. “Aku tidak ingin kamu pergi dan aku tidak suka
ide kita tinggal terpisah, tapi itu lebih mudah untukmu dan kondisi
tubuhmu, lalu—“
“Baek, paling tidak di setiap akhir hari
ada kamu,” sela Chanyeol. “Aku mungkin sangat lelah dan terlihat sangat
kacau, tapi paling tidak aku pulang ke rumah untukmu.”
“Jika kau kau tertidur saat mengemudi,
maka tidak, Chanyeol,” ucap Baekhyun tegas, dengan nada terluka. “Aku
tidak ingin. Kamu mati dan tempat aku melihatmu selanjutnya adalah kamar
mayat, mengindetifikasi tubuhmu!”
Chanyeol melepaskan lengannya dan menaruhnya di pundak Baekhyun, “Baek—“
“Yeol, aku telah memperhitungkannya, okay?”
ucap Baekhyun—mencoba mengganti topik pembicaraan ke sesuatu yang lebih
wajar. “Itu lebih mudah dan lebih nyaman dibandingkan menginap di hotel
terus menerus.”
“Baek, aku tidak peduli,” geram Chanyeol.
“Apapun itu, kau satu-satunya yang membuat kakiku tetap menginjak
tanah—menjagaku tetap waras. Tidur di apartemen di kota mungkin
membuatku mendapatkan waktu tidur satu atau dua jam lebih lama, tapi itu
menjauhkanku darimu, damn it!”
“Kalau begitu, jual saja rumah ini!” ucap Baekhyun frustasi.
Chanyeol terperanjat menatapnya, “Apa?”
Alis Baekhyun berkerut, “Jual rumah ini. Ayo pindah kembali ke kota. Itu akan—“
“Tidak,” ucap Chanyeol kukuh. “Kita tidak
akan menjual rumah. Aku membeli rumah ini untukmu karena ini sempurna
untukmu dan ini yang kau butuhkan.”
“Tapi, Chanyeol—”
“Aku bilang tidak, Baekhyun,” ujar
Chanyeol. “Aku tidak ingin kau menyerah seperti ini. Aku tidak ingin
membawamu ke tempat dengan ritme kehidupan yang cepat—kota yang berisik
dan orang-orang yang dikejar waktu.”
Beberapa saat berlalu sebelum Baekhyun bertanya, “Lalu apa yang ingin kau lakukan?”
Memandangi Baekhyun, Chanyeol mengusap
belakang lehernya sebelum meletakkan telapak tangan di pipi Baekhyun,
“Baiklah. Aku akan…” ia menggigit lidah dan menghela nafas berat, “Kita
akan akan mencari solusinya—tapi kita akan duduk dan merencanakan
semuanya,” ucapnya tegas. “Seperti, aku memiliki jadwal yang sibuk, kamu
harus datang dan mengunjungiku paling tidak empat kali seminggu untuk
memasakkanku sesuatu. Karena aku memerlukanmu juga, Baek. Tidak hanya
untuk tidur. Aku membutuhkanmu di tempat tidur denganku, baik itu hanya
untuk tidur bersama atau melakukan hal lain yang lebih.”
Pelan, Baekhyun mengangguk, sedikit
bahagia bahwa Chanyeol setuju. “Kita tidak akan membiarkan jarak menjadi
masalah. Kita akan saling menghubungi—Tidak, aku akan meneleponmu. Aku
akan meneleponmu ketika jam makan siangmu dan juga waktu lainnya. Kau
harus meneleponku ketika kamu memutuskan untuk datang ke rumah saat
malam, tapi untuk akhir pekan, kamu harus mencoba dan paling tidak
pulang pada dua hari itu. Sabtu dan Minggu, maksudku, aku juga
membutuhkanmu.”
Sambil menautkan jari jemari mereka, Chanyeol mengendurkan beban di bahunya, “Kapan kamu akan mulai mencari?”
“Bukankah semuanya tergantung jadwalmu?” Baekhyun mengingatkan dengan nada ramah dengan senyum yang dipaksakan.
Pernyataa n itu benar. Semua yang mereka
lakukan bersama harus sesuai dengan jadwal Chanyeol. Dulu tidak seperti
itu. Saat mereka baru menikah, Chanyeol tidaklah sesibuk sekarang dan
memiliki waktu untuk menyesuaikan aktivitasnya di kantor. Sekarang,
semua itu telah terjadwal. Hal-hal seperti pertemuan dan persentasi
tidak bisa dipindah jadwal, dan sangat jarang beberapa hal dijadwalkan
ulang hanya karena seseorang menginginkan waktu libur bersama pasangan
atau kekasih mereka. Walaupun beberapa hal telah berubah, mereka belajar
cara mengatasi perubahan-perubahan ini, terutama Baekhyun. Chanyeol
lambat menyadarinya, tapi itu karena ia bagian dari semua perubahan itu.
Baekhyun lebih menyadarinya karena dialah yang duduk diam,
memperhatikan karir Chanyeol semakin menanjak dan mulai meninggalkannya
di awal.
“Ayo pergi saat kamu memiliki hari libur.”
“Aku tidak memiliki hari libur, Baek.”
Baekhyun tertawa kecil dan memukul sisi
tubuhnya dengan pelan, “Aku tahu.” Ia mendesah berat dan mengangkat
bahu. “Aku akan melihat daftar apartemen dan kita bisa pergi bersama
saat kau memiliki waktu. Jika tidak, aku yang akan melakukannya
untukmu.”
Setelah mempelajari ekspresi wajah Baekhyun untuk sesaat, Chanyeol bertanya dengan lembut, “Apakah kamu yakin dengan ini?”
Baekhyun mengangguk dengan lembut, “Iya.
Ini hanya seperti memiliki dua rumah. Ini akan baik-baik saja.” Ia
memeluk Chanyeol lagi, menenggelamkan wajahnya di dada pria itu
lagi—dengan lengan Chanyeol memeluk. “Kita akan baik-baik saja.”
▲
‘Baik’ mendeskripsikan kondisi mereka
dengan sempurna, tetapi baik hanya berlangsung sebentar. Untuk beberapa
minggu, kesepakatan mereka berjalan baik. Setelah menemukan apartemen
untuk Chanyeol, ketika ia tidak merasa akan pulang ke rumah dengan aman,
mereka melakukan rencana mereka. Malam-malam ketika Chanyeol memutuskan
tinggal di kota, Baekhyun—jika ia bisa—akan menyiapkan makanan dengan
cepat, melakukan perjalanan yang lumayan panjang dengan subway,
dan kemudian dengan taksi hanya untuk memberikan Chanyeol makan malam.
Ia selalu memastikan masakan terasa enak dan sesuatu yang mungkin
Chanyeol inginkan, ia menemukan indra keenam untuk hal itu setelah
menikah hampir selama dua tahun.
Chanyeol mencoba pulang ke rumah saat
akhir pekan seperti yang telah mereka sepakati, tapi ia menemukan
kelelahan menggerogotinya saat akhir minggu dan tidak mengijinkannya
melakukan apapun dengan cukup baik. Jadi, setelah beberapa kali usaha
dan sebagian kecil berhasil, Baekhyun tersenyum padanya dan mengatakan
bahwa tidak masalah untuk tinggal di kota dan Chanyeol tidak perlu
memaksa dirinya untuk pulang ke rumah. Awalnya Chanyeol ragu menerima
sikap baik Baekhyun itu, tapi akhirnya ia mulai menghabiskan akhir pekan
di kota. Dan walaupun apartemen itu seharusnya hanya digunakan untuk
saat sulit ketika ia tidak bisa pulang ke rumah, Chanyeol mulai
melakukan itu secara rutin setiap minggu hingga berbulan-bulan sejak
terakhir ia menginjakkan kaki di rumah milik mereka berdua. Dengan kata
lain, surga kecil mereka menjadi kabur dalam ingatannya, tergantikan
dengan fungsi praktis yang ditawarkan apartemen dengan sebuah kamar
tidur besar: kenyamanan.
▲
Di sisi Baekhyun, ia semakin jarang mengunjungi apartemen karena deadline novel pertamanya. Ia meluangkan waktu dan mencoba menghubungi Chanyeol melalui telepon atau video call jika
ia bisa, tetapi seperti hal lainnya, saat-saat itu berkurang. Ketika
Chanyeol sedang bekerja di kantor, Baekhyun sedang tidur setelah menulis
dan merencanakan tulisan hingga subuh ketika ia akhirnya tertidur di
tempat tidurnya, sendiri.
Dan saat-saat langka ketika Baekhyun
beruntung saat menghubungi Chanyeol, percakapan mereka selalu singkat
dan tidak ada yang spesial. Bekerja lembur, membuat semuanya hambar
dengan pertanyaan yang biasa seperti ‘Apa kabarmu?’ dan ‘Apakah kamu
sudah makan?’. Pembicaraan-pembicaraan di telepon ini tetap selalu
singkat karena fakta sederhana—mereka berdua tahu bagaimana
masing-masingnya perlu tidur atau bekerja.
Satu malam ketika Baekhyun rebahan
sendirian di tempat tidur mereka tanpa apapun untuk dilihat kecuali
bulan yang bersinar menembus jendela dan lambaian lembut tirai tipis, ia
berpikir tentang keputusan mereka. Ia merenungkan apa yang telah
terjadi. Ia merasa keretakan di antara mereka. Jarak bukanlah masalah
yang sepele, tapi juga bukan tidak mungkin untuk diatasi. Kenyataan
bahwa mereka jarang bertemu langsung bukanlah masalah yang sangat besar.
Baginya, lebih dari itu. Jarak bukan permasalahan karena walapun mereka
tinggal serumah, situasinya masih tidak akan berubah. Mereka berdua
masih akan tetap sibuk satu sama lain. Masalah yang sama, hanya saja
dengan situasi yang berbeda.
▲
Kembali ketika masa kuliah, Baekhyun
tertarik dengan beragam bahasa. Salah satu hal yang sering ia lakukan
adalah meninggalkan pesan untuk Chanyeol dalam bahasa asing—yang ia tahu
kekasih dengan otak bisnisnya itu tidak tahu bagaimana membacanya.
Untuknya, itu bagian yang menarik, melihat Chanyeol mengartikan
pesannya.
Baekhyun selalu memastikan pesan yang ia buat sederhana namun penuh arti. Sering kali, itu hanya berupa catatan ‘I love you’.
Chanyeol, walaupun bertindak dan terlihat seperti seseorang yang dingin
dan tidak peduli, akan selalu membalas kata-kata itu, namun dalam
bahasa Korea, bahasa mereka berdua.
▲
Salah satu hal yang Baekhyun dapatkan
saat ia mengikuti Chanyeol di perpustakaan adalah ketertarikannya pada
bilangan biner. Ketika Chanyeol duduk dan mencari materi di buku-buku
referensi yang menumpuk untuk test atau kuis yang akan diadakan di salah
satu kelasnya, Baekhyun memandangi mahasiwa lainnya, mengamati mereka
seperti yang biasa ia lakukan karena ia lebih seperti seorang pengamat
daripada pelaku. Hingga ia melihat buku salah satu mahasiswa dan ia
tertarik dengan banyaknya jumlah angka satu dan nol di halaman buku itu.
Mahasiswa itu sedang menulis dalam bahasa
yang Baekhyun kenali, namun matanya lebih tertuju ke buku. Perlu
beberapa saat untuk ia menyadari bahwa mereka sedang menerjemahkan
angka-angka itu. Selama apapun ia mengamatinya, Baekhyun tidak bisa
memahami bagaimana mereka mendapatkan huruf-huruf dari dua angka positif
pertama yang tampak tersusun acak—walaupun orang bisa berpendapat bahwa
angka nol adalah netral.
Itulah ketika Baekhyun mundur dan berlari
ke tempat Chanyeol duduk. Kemudian ia dengan cepat menanyakan
kekasihnya tentang apa yang ia lihat, dimana Chanyeol menjawab dengan
ekspresi wajahnya yang biasa, “Itu bilangan biner, Baek.”
Binary. Biner.
Bilangan biner sederhana, namun penuh
rahasia hingga titik dimana hanya beberapa orang umum yang bisa
mengerti. Bukan hanya itu, tapi mada faktor ‘cool’ yang
menarik Baekhyun. Dengan senyuman lebar, Baekhyun berterima kasih pada
Chanyeol, memcium kekasihnya yang kutu buku itu dengan cepat sebelum
mengintari perpustakaan untuk mencari sesuatu yang bisa mengajarinya
nilai artistik dari bilangan biner.
▲
Hari-hari saat mereka baru menikah, di
apartemen kecil mereka, mereka meluangkan hari Sabtu untuk menonton
film. Suatu hari mereka menonton komedi romantis, dan suatu hari
lainnya. Mereka menonton drama keluarga yang membuat mereka—lebih
seringnya, Baekhyun—menangis.
Saat seperti itu, Chanyeol akan mengusap
kepala Baekhyun dan memintanya untuk tidak menangis, itu hanya sebuah
film dan menangis tidak akan mengubah apapun yang telah terjadi.
Baekhyun akan marah dan membantah, menantang Chanyeol dengan bertanya
padanya apakah itu salah untuk mengharapkan hasil akhir yang berbeda.
Chanyeol akan selalu menjawab, mengatakan padanya bahwa tidak ada
untungnya menginginkan akhir yang berbeda dan film telah selesai dan
tidak ada cara untuk mengubah itu. Baekhyun akan mulai menyebutnya
manusia berhati dingin yang tidak peka, dimana Chanyeol akan mengabaikan
perkataan itu, mencodongkan tubuh dan menghapus air mata Baekhyun
dengan ciuman.
▲
Saat buku pertama Baekhyun terbit, ia
akhirnya merasa bebas. Ia merasa ia akhirnya bisa mengunjungi Chanyeol,
namun dengan sukses yang sejalan dengan penerbitan itu, jadwal yang
padat juga menanti. Suatu malam Baekhyun mengunjungi Chanyeol, mereka
menghabiskan waktu dengan mengobrol hal-hal yang umum, Baekhyun masih
mengatakan ‘I love you’, begitu juga Chanyeol, namun kata-kata itu tidak lagi memiliki kehangatan yang sama seperti saat-saat dulu.
Dan ketika mereka menyatukan tubuh dalam
cinta malam itu, yang ada adalah sebuah kebutuhan, namun terasa
dipaksakan. Keduanya merasakan itu. Mereka merasakan kerenggangan di
antara mereka. Ada rasa takut di antara keduanya yang mereka isi dengan
bercinta seperti yang biasa mereka lakukan, tapi semua itu tidak
membantu. Chanyeol lelah. Baekhyun lelah. Namun, mereka masih menaruh
usaha untuk merasakan sesuatu, meskipun keinginan untuk tidur dan
beristirahat lebih kuat dibandingkan malam yang penuh nafsu dengan satu
sama lainnya.
▲
Board games adalah sesuatu yang
dulu biasa mereka nikmati di Jumat malam. Ketika Chanyeol pulang ke
rumah sekitar pukul enam, Baekhyun akan menyiapkan makan malam dan
memilih board game untuk mereka mainkan. Setelah makan, mereka
menggosok gigi, dan dengan sedikit dorongan, mereka akan mengeluarkan
permainan dan memulainya. Terkadang ada taruhan. Suatu waktu, mereka
bermain monopoli. Setiap Chanyeol membeli salah satu aset Baekhyun, pria
yang berpostur lebih kecil itu harus melepaskan sesuatu.
Chanyeol—sebagai ahli di bidang bisnis—selalu bermain dengan penuh
strategi dan menyebabkan Baekhyu tidak berpakaian sama sekali di tiga
puluh menit awal permainan.
Permainan mereka itu tidak pernah lama.
Derit ranjang akan selalu bertahan lebih lama dibandingkan permaina. Dan
ketika mereka selesai, Chanyeol akan berbisik, “Aku menang.” Baekhyun
menyeringai, menarik tubuh mereka lebih dekat dan menggelengkan kepala.
“Tidak. Aku menang,” ucapnya, mencium Chanyeol dalam-dalam. “Kau milikku. Selamanya.”
▲
“Aku memiliki acara book sign akhir pekan ini, Yeol,” ucap Baekhyun, tersenyum melalui webcam.
Chanyeol tersenyum balik dengan sebuah senyuman yang terlihat lelah. “Sungguh, sekarang. Bukumu sukses?”
Mengangguk, Baekhyun meringis, “Iya, lumayan berada di urutan yang tinggi untuk penulis baru. Aku sangat senang tentang itu.”
“Selamat, Baek.”
“Terima kasih, Yeol.” Ada keheningan di pembicaraan mereka beberapa saat. “Jadi, apakah kau akan datang? Kumohon?”
Chanyeol membuka mulutnya, ragu. Ia tahu
besar kemungkinan ia tidak bisa datang, dan ia tidak tahu kenapa ia
justru mengatakan, “Tentu.”
Di luar sepengetahuan Chanyeol, mata
Baekhyun berbinar. “Belilah bukunya! Akan aku tanda tangani untukumu!”
candanya. Mereka kemudian melirik ke arah jam. “Ah, aku harus pergi
sekarang,” ucap Baekhyun sambil menguap.
Chanyeol menahan diri untuk menguap juga. “Baiklah. Bye.”
“Bye,” ucap Baekhyun sambil mengangguk. “Oh, apakah kau pulang k erumah akhir pekan ini?”
“Baek, aku—”
Bersembunyi di balik senyuman, Baekhyun
melambaikan tangan. “Tidak apa-apa! Aku sudah tahu jawabannya, jadi kamu
tidak perlu mengatakan apapun. Aku mengerti… meskipun, kau sebaiknya
pulang lain waktu. Aku menanam beberapa bunga yang cantik di halaman.”
Melihat wajah Chanyeol, Baekhyun tahu bahwa pria itu tidak tahu
bagaimana menanggapi perkataannya. Merasa ia telah membuat Chanyeol
tidak nyaman, Baekhyun mengubah suasana, walau itu dengan wajah
terpaksa. “Aku akan memotonya untukmu, okay?”
“Okay.”
“Bye, Chanyeol. I love you.”
Chanyeol diam sesaat. “Bye, Baek.”
Baekhyun menunggu kata ‘I love you’ yang biasa mereka ucapkan, tapi setelah dua detik, Ia mengangguk dan keluar dari chat room. Ia berpikir Chanyeol hanya terlalu lelah untuk mengingat; ia terlalu lelah untuk mengingat tiga kata sederhana itu.
▲
Baekhyun memiliki kebiasaan mengukir di
pohon. Kembali ketika Chanyeol biasanya memiliki waktu luang di akhir
pekan, mereka akan meninggalkan apartemen dan pergi ke taman. Itulah
dimana Baekhyun menggunakan benda tajam untuk mengukir inisial nama
mereka di batang kayu. Chanyeol akan memperhatikan sekitarnya, khawatir
pihak yang berwajib akan menangkap pasangannya yang agak aneh itu karena
merusak sebuah pohon, walaupun ia melakukan itu untuk cinta.
▲
Di acara tanda tangan, keramaian orang
mulai terlihat, tapi tidak peduli seberapa sering Baekhyun melongokkan
kepala, ia tidak melihat giant-nya dimana pun. Ia pikir mungkin
pria itu agak terlambat. Baekhyun melanjutkan kegiatannya hari itu,
memberikan tanda tangan untuk penggemar dengan bahagia dan pengujung
yang penasaran yang tertarik untuk mendapatkan buku yang ditanda tangai
oleh orang yang mugkin terkenal. Ia berharap dan memegang janji Chanyeol
dalam hati, tapi seiring dengan keramaian yang berkurang dan Chanyeol
masih tidak terlihat, hati Baekhyun sedikit hampa.
Ia tahu tidak seharunya memasukkan itu
dalam hati. Chanyeol sibuk, ia tahu itu. Tapi ia juga tahu Chanyeol
tidak membuat janji yang tidak bisa ditepati, nyatanya pria itu
mengatakan ia akan datang.
▲
Pada video call selanjutnya,
Baekhyun tidak mencoba terlihat bahagia, karena ia tidak. ‘Kecewa’ kata
yang menggambarkannya, tapi ia tidak ingin mengungkapkan itu karena
Chanyeol sibuk. Ia memiliki alasan untuk tidak datang ke suatu acara
bodoh seperti book signing. Tapi iyu bukanlah hanya acara yang
‘bodoh’ untuk Baekhyun. Ia acar apertamanya dan ia harap Chanyeol berada
di sana, tapi pria itu tidak ada, dan itulah kenyataannya.
Chanyeol terlalu lelah untuk melihat apa
yang salah. Ia meminta maaf, tapi suasana hati Baekhyun tidak tampak
membaik walaupun ia mengatakan ia baik-baik saja. Hasilnya, itu membuat
Chanyeol jengkel, ia memutuskan pembicaraan singkat mereka dan
pembicaraan melalui video call cukup untuk malam itu.
▲
Tekanan muncul seiring kesuksesan. Tidak
ada lagi waktu untuk bersantai. Tidak lagi kesempatan untuk menghabiskan
waktu dengan orang yang mereka cintai atau menghubungi teman-teman.
Waktu tidak lagi memberikan kesempatan untuk saat-saat yang akrab dan
hangat. Waktu hanya memberikan kesempatan untuk satu hal—bekerja.
▲
Seperti foto-foto tua, hubungan mereka
mulai berubah. Seperti foto yang buram yang awalnya cerah dan jelas,
hubungan mereka menjadi membosankan dan datar. Mereka menjadi orang
asing dalam pernikahan mereka sendiri, sering kali melupakan saat-saat
yang biasa mereka lakukan bersama ketika semuanya lebih sederhana.
Telepon menjadi semakin berkurang. Pesan menjadi singkat. Kunjungan menjadi jarang. Dasarnya mereka telah merasa lelah.
▲
Dua tahun sebelas bulan pernikahan,
Chanyeol berdiri di kamar tidurnya, menatap sosok sempurnanya yang
terpantul di cermin. Ia membetulkan kancing dan menyempurnakan
rambutnya. Ia melihat jam dan menyadari ia memiliki jadwal, tanpa waktu
luang sejenak saja. Mengesampingkan jam kerjanya yang rutin, ia tidak
bisa menolak keinginan—duduk di tepi ranjang, dengan hembusan nafas
berat menatap dinding kamarnya.
Hatinya terbebani dan itu perlu
berminggu-minggu—mungkin sebulan—untuk menyadari permasalahannya. Itu
tidak pasti. Ia berkecamuk dengan pemikiran mengerikan tidak lagi saling
mencintai dengan Baekhyun, namun seiring hari-hari yang berlalu, ia
menemukan bahwa ia tidak bisa mengelak kenyataan itu lebih lama.
Ia merasa kesepian, tapi Baekhyun terlalu
jauh untuk dijangkau. Chanyeol tahu ia masih mencintai penulis berambut
coklat itu, yang kadang ia lihat di media cetak maupun online,
tapi ia tahu ia tidak merasakan seperti yang ia rasakan dulu. Mereka
tidak bercinta lagi berbulan-bulan ini. Baekhyun jarang mengunjunginya.
Kencan saat malam tidak lagi ada, karena itu tidak mungkin mengingat
jadwal mereka.
Kenyataanya, semakin Chanyeol memikirkan hal itu, ia lebih banyak melihat Baekhyun melalui video call yang singkat dan tidak rutin disbanding melihatnya secara langsung.
Ia menoleh—menatap ranjang yang kosong.
Ia merindukan itu. Ia merindukan rasa saling tertarik, apa yang biasa
mereka lakukan—semuanya. Jarak adalah satu hal. Keterpisahan adalah hal
lainnya. Kurangnya komunikasi memberi pertanda sebuah akhir, tapi
perasaan berat di hati Chanyeol-lah yang membawa palu ke atas balok.
▲
Terkadang Baekhyun berpikir untuk pindah hati, namun hatinya tidak mengijinkan. Ia masih mencintai giant-nya
walaupun kenyataannya setiap malam ia pulang ke rumah ‘mereka’ yang
tenang hanya untuk merebahkan tubuh di ranjang dengan sisi yang kosong
dan dingin. Ia merindukan malam-malam ketika mereka terjaga hanya untuk
saling membisikkan kata-kata. Ia merindukan board games, pepohonan dan film. Satu hal yang terkadang membuatnya mampu melewati hari adalah foto di hari pernikahan mereka.
▲
Chanyeol diharuskan menghadiri pesta
Natal tahunan perusahaan untuk keperluan penampilan dan ia terpaksa
menolak ajakan Baekhyun untuk pulang ke rumah selama liburan. Seperti
biasa, Baekhyun mengatakan ia memahaminya dan kemudian menutup sambungan
telepon. Kurangnya perbedaan pendapat dan sikap tenang Baekhyun
mengganggu Chanyeol. Ia berpikir, mungkin jika Baekhyun berusaha lebih
keras meminta waktunya, Chanyeol akan mengatakan iya. Namun kemudian ia
mengingatkan dirinya sendiri bahwa ia tidak bisa berkata iya. Dia sibuk.
Dengan hubungan yang hampa dan dingin
seperti cuaca saat itu, Chanyeol pindah hati. Dengan minuman di tangan
dan senyuman di wajah, ia mengangkat pandangan. Disana, di pesta Natal
tahunan ia bertemu Kyungsoo.
▲
Selama salah satu waktu terberat saat
Chanyeol menghadapi minggu penuh ujian akhir, Baekhyun akan merayu teman
sekamar Chanyeol, Kris, untuk mengijinkannya masuk ke kamar mereka di
pagi buta ketika Chanyeol memiliki jadwal ujian. Baekhyun meletakkan
tiga buah permen kesukaan Chanyeol di dekat buku pelajarannya sebelum
berjinjit menghampiri Chanyeol dan dengan pelan meletakkan sticky note di kepalanya. Baekhyun tertawa pelan sebelum berjalan mundur dan diam-diam meninggalkan ruangan.
Ketika Chanyeol terbangun tiga puluh
menit kemudian karena bunyi alarm, hal pertama yang ia lihat ada kertas
yang tertempel di dahinya—menahannya untuk mengusap mata. Ia melepaskan
kertas itu, meengerjapkan mata dan melihat lebih dekat tulisannya. Ia
memfokuskan mata dan menyadari bahwa yang tertulis bukanlah huruf,
melainkan angka-angka satu dan nol.
“01000111 01101111 01101111 01100100
00100000 01101100 01110101 01100011 01101011 00100000 01101111 01101110
00100000 01111001 01101111 01110101 01110010 00100000 01100101 01111000
01100001 01101101 01110011 00101100 00100000 01100111 01101001 01100001
01101110 01110100 00100001”
Mata Chanyeol tertuju pada bagian bawah kertas dan melihat ke pesan paling bawah.
“01001001 00100000 01101100 01101111 01110110 01100101 00100000 01111001 01101111 01110101 00100001.”
Walaupun ia baru saja bangun, Chanyeol
menyempatkan diri untuk menerjemahkan pesan itu. Pagi itu sambil
berjalan menuju kelas, ia dengan cepat menyalin angka-angka itu ke
ponselnya. Menggunakan penerjemah, ia membaca apa yang ditulis Baekhyun
untuknya.
“Good luck on your exams, giant!”
Terakhir, Chanyeol menerjemahkan pesan singkat di paling bawah kertas.
“I love you!”
▲
Natal berlalu dan yang ada hanyalah
sebuah kartu untuk Baekhyun. Hadiah sederhana juga dikirim. Baekhyun
tidak tahu apa yang harus dikirim, jadilah ia mengirimkan tiga buah
permen.
▲
Harusnya terasa salah dan mungkin benar
itu salah, namun seiring berjalannya waktu, ketertarikan sebatas rekan
kerja berkembang. Awalnya hanya berupa lirikan polos, kemudian
berkembang menjadi sesuatu yang lebih bersifat kontak fisik—dimulai
ketika Kyungsoo mengambil langkah dan menyentuh bibir Chanyeol dengan
bibirnya.
Dan ketika Chanyeol merebahkan tubuh
Kyungsoo di ranjangnya, ia mengabaikan suara di dalam kepala yang terus
mengatakan Kyungsoo tidak seharusnya berada disana. Suara itu terus
mengatakan padanya bahwa ranjang Baekhyun juga ranjangnya, tapi tidak
pernah menjadi ranjang Kyungsoo. Untuk ini, Chanyeol mengabaikan
kesadarannya, beralasan bahwa Baekhyun tidak lagi di sana, bahwa mereka
sudah saling menjadi orang asing dan bahwa ia menginginkan sesuatu yang
lebih—sesuatu yang bisa diberikan Kyungsoo dan Baekhyun tidak bisa.
Tepat sebelum Kyungsoo mendekatkan
tubuhnya dengan tubuh Chanyeol, ia mengambil tangan Chanyeol dan
melepaskan cincin pernikahan, melemparnya ke sisi ruangan dimana cincin
itu jatuh dengan diam di lantai.
▲
Pada akhir musim semi rasa sakit mendera
Baekhyun. Ia mulai menyadari itu ketika ia mulai sering sakit kepala dan
rasa sakit itu tidak hilang. Ia juga menyadari tubuhnya menjadi sering
lelah. Setelah dua minggu mengatasi itu dengan pil obat, ia ambruk.
Tidak ada banyak pemikiran tentang apa yang salah dengan dirinya
dibandingkan dengan pemikiran bahwa itu hanya sakit kepala dan masalah
itu akan segera pergi dengan sebutir pil dari dokter.
Ia tidak mengharapkan apapun dan keluar dengan perasaan seolah-olah seluruh dunia di pundaknya, juga membebani hatinya.
▲
Mereka mengatakan padanya bahwa ia memiliki jadwal CT scan
lusa, untuk sekali itu, Baekhyun benar-benar tidak ingin melakukan itu
sendiri. Orang pertama yang muncul di benaknya adalah Chanyeol, suaminya
dan juga sandarannya. Dengan cepat menggunakan subway, Baekhyun menuju apartemen Chanyeol, menahan tangisnya dan mencoba terlihat kuat.
Setelah masuk ke dalam taksi, ia hanya
diam membeku ketika sopir taksi menanyakannya alamat yang dituju. Ia
menyadari bahwa di saat itu ia tidak tahu. Ia tidak sadar. Ia mencoba
mengingat ulang, tapi ia tidak bisa mengingat alamat yang dulunya ia
ketahui dengan pasti dan jelas. Bingung dan kecewa, tidak bisa
menjelaskan hilngnya ingatan yang tiba-tiba dan sementara, Baekhyun
keluar dari taksi dan memilih untuk berlari, karena tidak seperti sebuah
alamat, ia mengingat kenangan yang kabur—jalan dan sudut dimana dulu ia
belok.
Ia memiliki harapan bahwa mungkin mereka
akan berdamai dan memperbaiki hubungan atas waktu satu tahun yang
jelas-jelas hilang. Baekhyun berharap dan ia membayangkan, tapi ketika
matanya melihat Chanyeol keluar dari apartemen dengan menggenggam tangan
seseorang dan senyum yang begitu bahagia di wajah mereka, Baekhyun
berhenti dan menyaksikan semua harapannya hancur berantakan.
Dan seperti sakit yang ia rasakan
beberapa minggu belakangan, matanya perlahan berair, merembes keluar
hingga ia tidak mampu lagi menahan semua itu. Dengan lutut gemetar dan
pandangan yang kabur oleh air mata, ia mengambil langkah mundur dan
berbalik arah. Sendiri.
▲
Bulan keenam di tahun itu, di awal musim
panas, Kyungsoo duduk di ranjang Chanyeol, menunggunya selesai mandi.
Cincin pernikahan Chanyeol di tangannya, dan Kyungsoo terus
mebolak-balik cincin itu, memeriksa setiap detail. Cukup lama bagi
Kyungsoo untuk terhibur dengan apa yang ia lakukan ketika Chanyeol
kembali ke kamar.
“Apa yang kau lakukan disana, Kyungsoo?” tanya Chanyeol dengan senyum kecil.
Sambil mengangkat bahu, Kyungsoo masih
memasang ekspresi wajah tenang, “Aku hanya sedang berpikir—sebenarnya,
aku telah memikirkan hal ini beberapa waktu, sungguh.”
Sambil menutup resleting celana dan
mengambil kemeja, Chanyeol menatap Kyungsoo, “Apa yang ada dalam
pikiranmu?” Ia mendesah ketika melihat cincin di tangan pria itu,
“Kyungsoo.”
“Chanyeol, kenapa kau tidak menceraikannya saja?” Kyungsoo meledak.
“Kyungsoo, dia—”
“Kalian sudah menjadi asing satu sama
lain untuk waktu yang lama,” ujar Kyungsoo. “Hubungan kalian telah lebih
dari sekedar mati ketika aku bertemu denganmu. Kenapa kau
mempertahankan sesuatu ketika tidak satupun di antara kalian saling
peduli lagi?”
“Aku hanya tidak bisa memberinya surat
cerai begitu mendadak,” bantah Chanyeol. “Setidaknya ia memerlukan
beberapa pemberitahuan.”
“Berikan dia pemberitahuan itu,”
ucap Kyungsoo, menggenggam cincin di telapak tangannya. “Sebenarnya kau
bisa membayar pengacara untuk mengatarkan dokumen perceraian kepadanya.
Itu pemberitahuan yang cukup, kan?
“Itu—”
“—Chanyeol.” Kyungsoo memelototinya.
“Lebih baik mengakhirinya sekarang, kau tahu. Jadi kita bisa benar-benar
memiliki awal yang baru. Kemudian kau dan aku bisa menikah dan kalian
berdua bisa pindah ke lain hati. Kau bersamaku sekarang, mari kita
hadapi itu. Dia juga mungkin memiliki orang lain”
Tenggorokan Chanyeol seperti tercekik
membayangkan Baekhyun memiliki pria lain. Sulit untuk dibayangkan dan
itu tepat menusuk satu titik dalam dirinya. “Kyungsoo…”
“Aku mencintaimu, Chanyeol, dan aku tahu kau mencintaiku juga,” lirih Kyungsoo. “Jadi lakukanlah, kumohon. Untuk kita. Untuk dia. Untuk kita semua.”
▲
Pada Senin malam, Baekhyun menyelinap ke kamar asrama Chanyeol dan
menaiki ranjangnya. Chanyeol protes, tapi ujung-ujungnya ia melingkarkan
lengan di tubuh kekasihnya yang mungil, dan Kris akan terbangun
keesokan pagi dengan tambahan teman sekamar.
▲
0:00:01
Chanyeol berdiri di luar rumah yang dulu
ia tinggali dengan Baekhyun untuk beberapa waktu yang singkat. Ia
mengingat semua janji yang ia buat dan harapan-harapan dan juga
mimpi-mimpi yang mereka miliki, tapi saat itu, masa lalu seperti itu
hanyalah debu untuknya, karena itu adalah hal-hal yang tidak ia pikirkan
selama beberapa bulan belakangan. Mengumpulkan keberaniaannya, ia
mengangkat tangan dan mengetuk pintu. Ia berharap pintu terbuka dan
disambut oleh Baekhyun. Cukup lama dari yang ia pikirkan dan orang yang
membuka pintu bukanlah calon mantan suaminya.
“Hello.”
Gadis muda berwajah ceria membuka pintu
dan tersenyum padanya. “Hi.” Setelah diam sejenak, ia bertanya,”Aku
tebak kamu Chanyeol.”
Chanyeol mengangguk—mengiyakan, “Iya.”
“Masuklah,” ucapnya sambil beralih dari depan pintu. Ketika Chanyeol sudah di dalam, ia menutup pintu di belakang, “Ngomong-ngomong, aku Luna.”
“Senang bertemu denganmmu,” ucap Chanyeol sambil mengulurkan tangan.
“Terima kasih!” sahutnya ceria sambil
menjabat tangan. “Baekhyun akan turun sebentar lagi.” Kemudian dengan
nada lebih lembut dan wajah sedih ia berkata, “Ia mengharapkan
kedatanganmu.”
Menyakitkan bagi Chanyeol mendengar
kata-kata itu, tapi ia tidak bisa mengelak kebenarannya. Ia sudah
mengajukan perceraian dan ia yakin Baekhyun sudah mendapatkan
pemberitahuan dua minggu sebelumnya. Tentu Baekhyun menunggunya. Berdiri
di beranda sedikit membuatnya gugup, membayangkan bagaimana respon
Baekhyun. Ia membayangkan Baekhyun meneriakinya, menangis tersedu.
Tapi bayangan itu ia hentikan ketika ia
mendongak ke arah tangga dan Baekhyun sedang menuruni anak tangga.
Chanyeol menangkap senyuman yang pernah membuat jantungnya berhenti
berdetak—dan itu masih terjadi. Chanyeol berdiri di pintu masuk, hati
berdebar dan jantung seakan berhenti berdetak karena Baekhyun. Ia
menghentikan perasaan itu dan perlahan menghampiri Baekhyun, “Hei.”
Berjalan ke arah suaminya, Baekhyun
merentangkan lengan. Tanpa menunggu Chanyeol untuk bergerak terlebih
dahulu, ia memeluknya, sebelum melepaskan pelukan di waktu yang tepat,
“Hi, giant.”
Chanyeol mengatupkan bibir. Ia tidak mau lagi dipanggil ‘giant’.
Itu membawanya ke banyak hal yang akan membuatnya sulit melakukan
tujuannya berada di tempat ini. “Jangan panggil aku seperti itu lagi,
Baek.”
Dengan mulut sedikit terbuka, Baekhyun
mengangguk mengerti. “Maaf,” ucapnya dengan tawa. “Aku lupa kita akan
bercerai. Tentu.” Sambil menepuk lengan Chanyeol, Baekhyun berbalik dan
menunjuk ke sebuah ruangan, “Kita berbicara di ruang keluarga saja, ya?
Luna, bisakah kau membuatnkan teh untuk Chanyeol? Aku air putih saja.”
“Apakah kau ingin dengan lemon, Baek?” tanya gadis itu.
“Tidak. Itu saja.”
“Aku mengerti,” ujar Luna sambil berjalan ke dapur.
Chanyeol memperhatikan gadis itu pergi,
penasaran dengan hubungan gadis itu dan Baekhyun. Dalam benaknya
kata-kata Kyungsoo menggema. Mungkin Baekhyun menemukan seseorang, sama
seperti ia menemukan Kyungsoo. Keduanya menemukan orang yang membuat
mereka nyaman.
Setelah duduk, Chanyeol mempelajari wajah Baekhyun, “Kau terlihat sedikit… lelah, Baek. Tidurmu cukup, kan?”
Perlu beberapa saat untuk Baekhyun mengangguk dengan senyuman, “Aku hanya bekerja terlalu keras akhir-akhir ini. Itu saja.”
“Okay…” Chanyeol menghela nafas sedetik
sebelum membuka tasnya, “Seperti yang kamu ketahui, aku datang dengan
dokumen untuk kau tanda tangani.”
“Tentu saja.”
“Tidak akan memakan banyak waktu.”
“Aku tahu.”
“Aku berusaha agar ini tidak terlalu menyakitkan untukmu, Baek.”
Baekhyun tertawa pelan. “Itu tidak pernah tidak menyakitkan.”
Chanyeol menatap mata Baekhyun, “Maaf…”
“Aku baik-baik saja…”
Tidak sanggup lagi dengan suasana itu,
Chanyeol melanjutkan tujuan awalnya. Ia mengeluarkan dokumen dan
menyodorkannya ke arah Baekhyun, yang duduk di seberangnya. Chanyeol
memperhatikan Baekhyun bergerak agak lambat, tapi ia menganggap itu
hanya karena ia takut menghadapi kenyataan yang tertera dalam dokumen
itu.
Ketika Baekhyun mengambil dokumen itu dan
membacanya, Chanyeol membuka suara, “Kau pasti tahu kita berdua
menginginkan ini. Itu artinya kau juga bersedia datang ke pengadilan dan
pertemuan untuk mendiskusikan pembagian semuanya. Tapi, Baek, rumah…
rumah ini akan tetap untukmu, aku menjanjikanmu itu.”
“Kau berjanji padaku?”
“Iya.”
“Kau juga menjanjikan beberapa hal saat
di altar,” ucap Baekhyun lembut—lebih terdengar seperti bisikan. “Tapi
disini kita sekarang.” Tidak ingin suaminya memikirkan itu, Baekhyun
mengalihkan topik pembicaraan, “Jadi dimana aku harus tanda tangan?”
“Di paling bawah halaman,” sahut Chanyeol. Ia merogoh saku. “Kau butuh pulpen?”
“Iya.”
Jari mereka bersentuhan ketika Chanyeol memberikan pulpen, dan ia menyadari suhu tubuh Baekhyun, “Kau flu?”
“Tidak, aku baik-baik saja.”
“Tapi tanganmu biasanya tidak sedingin ini. Tanganmu hangat.”
“Aku senang kau mengingatnya.”
Semenit berlalu dan Chanyeol melihat Baekhyun memegang pulpen, namun belum melakukan apapun, “Baek—“
“Hei, Chanyeol,” ucap Baekhyun riang,
memadangi pria di depannya dengan senyuman yang mampu membuat Chanyeol
merasakan kembali hari-hari saat mereka kuliah. “Boleh aku meminta
sesuatu padamu?”
Mengetahui apa yang telah dialami Baekhyun karena dirinya, Chanyeol mengangguk, “Tentu. Apapun itu.”
Baekhyun tetap menatap Chanyeol dengan lembut sebelum bertanya, “Tinggallah bersamaku selama seminggu.”
“Baek—”
“Chanyeol, kumohon.”
“Aku tidak bisa.”
“Kenapa Yeol?”
“Karena Kyungsoo.”
Baekhyun menahan nafas. Ia tahu tentang
Kyungsoo. Ia tahu tentang pria yang mengangkat teleponnya ketika ia
menelepon Chanyeol. Tapi tetap saja, ia masih tidak bisa menepis rasa
sakit di dadanya, “Hanya seminggu…”
“Seminggu itu terlalu lama.”
“Kita telah menikah selama hampir empat tahun, Yeol,” ucap Baekhyun dengan senyum sedih. “Hanya satu minggu yang aku minta, giant.”
Walaupun suasana menjadi hening, ada satu
ketenangan di ruangan itu. Baekhyun membuang pandangan, namun ia
terlihat tenang dan jujur ketika menjawab pertanyaan Chanyeol. Sorot
lelah di matanya membuatnya terlihat tenang dan polos, sesuatu yang
tidak bisa Chanyeol abaikan.
“Aku tidak mengharapkan apapun terjadi…”
ucap Baekhyun perlahan sambil menautkan jari jemarinya. “Selama
seminggu, aku hanya ingin kau berpura-pura, Yeol,” ucapnya dengan suara
bergetar. “Aku ingin kau mencintaiku seperti yang kau lakukan dulu…”
“Baek—”
Dengan segaris senyum sedih di wajah, Baekhyun mengangkat tangannya, “Aku bilang ‘berpura-pura’. Ingat itu, giant.”
Ia tertawa kecil. “Kau tidak harus jatuh cinta padaku. Aku sudah tahu
kau tidak merasakan hal itu lagi. Aku hanya ingin kau berpura-pura. Aku
tidak akan meminta lebih darimu. Ini akan menjadi janji terakhir yang
kau pegang untukku…”
▲
1440
Rasanya canggung berada di rumah itu lagi, terlebih harus tidur dalam ruangan yang berbeda—bukan yang biasanya ia
tempati dengan Baekhyun dulu. Sambil berbaring diatas ranjangnya malam
itu, dia merenungi situasinya. Dia pikir, bila Tuhan menghukumnya saat
ini juga, dia pantas menerima itu atas semua hal yang sudah
dilakukannya. Hatinya masih terasa berat dan janggal, mengingat dia
tahu-tahu saja datang membawa berita cerai untuk Baekhyun setelah
berbulan-bulan lamanya tidak menghubungi. Pikirannya menarik kesimpulan
bahwa sudah tidak ada jalan lain lagi bagi mereka. Chanyeol menemukan
jalan baru, sama halnya dengan Baekhyun.
Chanyeol memutar kepalanya ke samping,
menatap keluar jendela. Hamparan bintang di langit menarik perhatiannya,
membuatnya berpikir hal apa lagi yang tidak terlihat olehnya karena
tinggal di kota.
▲
Hal yang mengganggu Chanyeol adalah masalah pakaian; dia tidak membawa satu helaipun,
dia tidak menduga dirinya akan berada di rumah ini lebih lama dari
perkiraannya. Ketika dia memberi tahu Baekhyun perkara ini, si lelaki
kecil tersenyum dan meyakinkannya untuk tidak perlu khawatir. Saat waktu
sudah mulai larut, Baekhyun membawa Chanyeol menuju kamar tamu, dekat
kamar yang dulunya mereka gunakan. Ia pergi sebentar, lalu kembali
dengan tiga lembar pakaian di lengannya sementara Luna—yang mengikutinya
dari belakang—membawa dalam jumlah lebih, termasuk bawahan piyama,
celana pendek, dan kaus.
“Aku tidak bisa membawanya sendirian,” jelas Baekhyun. “Mereka terlalu berat untukku.”
Chanyeol beralih menatap tumpukan baju
yang dibawa oleh keduanya, yang sekarang berada diatas ranjang.
“Kelihatannya tidak berat.”
“Bagiku iya. Seberat ton,” timpal Baekhyun pelan.
Ketika Baekhyun keluar mengikuti Luna dan
mengucapkan selamat malam pada Chanyeol, dia melantunkan sebuah urutan
angka. Chanyeol mengabaikannya, menyerah karena dia tidak bisa mengeri
biner. Tapi semakin lama dia berada disana, makin besar pula rasa
penasaran yang melahapnya bulat-bulat. Matanya bergulir kembali pada
tumpukan baju, lalu dia berusaha mengumpulkan semua dan mengangkatnya.
Tidak, tidak berat.
▲
Berkebalikan dengan situasinya saat ini
dan Kyungsoo yang memarahinya lewat pesan singkat tadi malam, Chanyeol
terbangun dengan hati yang tenang. Padahal dia tidak tahu kenapa.
Mungkin karena dia bukan berada di kota dan, untuk pertama kalinya, dia
terlelap tanpa suara bising mobil dan klakson. Atau mungkin karena rumah
ini sendiri, Baekhyun membuat tiap ruangan menjadi hangat dan nyaman.
Chanyeol hanya menghabiskan waktu
sebentar untuk mandi dan berganti dengan baju pinjaman Baekhyun. Baru
ketika matanya mendelik pada cermin, dia menyadari bahwa pakaian ini
adalah miliknya yang ia tinggalkan dulu.
Rasa pahit mulai menghantuinya. Mungkin
Baekhyun sengaja melakukannya, walau Chanyeol tahu kemungkinannya kecil.
Pertanyaan-pertanyaan muncul dalam kepalanya, mencoba menerka mengapa
Baekhyun masih menyimpan semuanya. Semua pakaiannya yang tua. Yang tidak
pernah dia pakai lagi. Yang ditinggalkannya.
Mengapa Baekhyun tidak membuangnya?
Makin lama menatap cermin, Chanyeol makin
sadar bahwa inilah gambaran dirinya yang dulu. Konyol, beberapa baju
usang dan rambut tidak tertata bisa membuatnya terlihat seperti tiga
tahun lalu. Tapi kontras dengan apa yang dirasakannya, ini tidak konyol.
Ini menyakitkan, mungkin sebuah bentuk dari rasa bersalah. Chanyeol
tidak tahu. Dia hanya ingin bergegas melewati enam hari di rumah ini dan
pulang.
▲
Chanyeol merasa kikuk. Dia tidak tahu apa
yang harus dia lakukan, walau Baekhyun hanya memintanya untuk
berpura-pura. Bagaimana caranya berpura-pura? Jawabannya tidak pernah
ada.
Waktu sarapan tidak berjalan begitu baik,
rasanya canggung. Tapi Baekhyun sudah mencoba, mendesak Chanyeol untuk
ikut berusaha juga. Luna membuatkan kopi untuk mereka. Baekhyun meminta
kopi hitam untuk Chanyeol dan susu untuk dirinya. Chanyeol menatapnya
nanar, dan Baekhyun hanya mengangkat bahu sambil tersenyum malu-malu.
“Aku masih ingat,” ujarnya. Dia membuka
mulutnya lagi untuk bicara, ingin Chanyeol tahu bahwa dia masih sering
mengingat-ingat hal kesukaannya agar dia tidak pernah lupa. Tapi pada
akhirnya, dia merapatkan bibir dan hanya mengulas senyum.
▲
“Ada pohon tidak jauh dari sini, Chanyeol,” tutur Baekhyun ketika Luna tengah membereskan sarapan mereka.
“Apa yang akan kau lakukan?”
Untuk beberapa saat, Baekhyun menatap
Chanyeol dengan kosong, sebelum akhirnya dia tersenyum lembut padanya.
“Aku ingin mengukir sesuatu.”
Ketika itu, Chanyeol mengingat sesuatu.
Dia hapal hobi lama Baekhyun, menulis inisial nama mereka diatas batang
pohon—agar seluruh dunia bisa lihat, katanya. Chanyeol mengerutkan
dahinya. “Baek—“
“Ayo pergi, Chanyeol.”
“Jangan lakukan ini.”
Baekhyun terhenyak. Senyumnya hilang untuk beberapa saat. “Kita hanya pura-pura, ingat?”
Kata kuncinya adalah ‘berpura-pura’.
Chanyeol tidak tahu mengapa Baekhyun mau melakukan hal sekeji ini,
berpura-pura ketika keduanya tahu bahwa yang mereka lakukan bukanlah hal
yang nyata. Dia tahu semua ini melukai Baekhyun. Tetap saja, ini hanya
berlaku untuk satu minggu dan ini adalah satu-satunya syarat dari
Baekhyun sampai dia menandatangani surat cerai itu. Chanyeol tidak
punya pilihan lain, akhirnya dia mengangguk mengiyakan.
“Baiklah.”
▲
Selama masa singkatnya disini, dia
menyadari Baekhyun menjadi lebih lambat dalam melakukan apapun.
Kadang-kadang Baekhyun butuh waktu lama untuk mencerna hal yang rumit,
dan Luna selalu membantunya ketika ia mengerjakan sesuatu yang berat.
Chanyeol masih belum tahu apa relasi
Baekhyun dengan Luna. Dia tidak tahu apa gadis itu hanya penjaga rumah,
pelayan, atau kekasih—walaupun ‘kekasih’ tidak masuk akal menilik
hubungan keduanya yang seperti kakak dan adik. Chanyeol tidak bisa
menebak jawabannya, tapi dia tahu ada alasan dibalik sikap protektif
Luna terhadap Baekhyun.
Sambil menunggu di teras, dia menangkap
suara Baekhyun dan Luna tidak jauh dari sana. Meski tidak mau, Chanyeol
terpaksa menguping.
“Kau yakin mau berjalan sejauh itu?” telinganya menangkap nada resah dalam suara Luna.
“Aku sering kesana. Aku akan baik-baik saja.”
“Itu kan sebelum…”
“Aku tidak apa-apa. Ada Chanyeol.”
Percakapan mereka berhenti sampai sini.
Setelah itu, Chanyeol melihat Baekhyun berjalan ke arahnya. Di belakang,
Luna berusaha memasang wajah senang, walau Chanyeol bisa melihat raut
gelisah disana.
▲
Mereka berjalan selama sepuluh menit
diatas jalan setapak sampai akhirnya melihat pohon yang dimaksud oleh
Baekhyun. Diantara hamparan sayuran dan pohon-pohon lain, Baekhyun
menunjuk sebuah pohon yang paling besar.
Chanyeol mengamati Baekhyun yang
memeriksa bagian bawah pohon itu dengan riang. Dia baru duduk ketika
Baekhyun mulai mengerjakan rencana kecilnya. Sambil masih memperhatikan,
Chanyeol merasa hangat hanya dengan memandangi sosok mungil Baekhyun
terhadap pohon raksasa yang kelewat besar. Sungguh pemandangan yang
menyenangkan dan untuk pertama kalinya, Chanyeol membiarkan dirinya
lengah.
Setelah lima menit berkelit dengan batang
kayu yang keras, Baekhyun mengerang dan berbalik pada Chanyeol,
mengulurkan pisau lipatnya. “Bisa lakukan ini untukku?”
Chanyeol mengerjap, berdiri menghampiri Baekhyun dan mengambil benda tajam tersebut pelan-pelan. “Apa batangnya susah dipotong?”
“Aku hanya sedikit lelah.”
Chanyeol meliriknya. “Apa kau tidur lelap semalam?”
Ada jeda kosong sebelum Baekhyun menjawab. “Ya…”
“Lalu mengapa kau lelah?” tanya Chanyeol, balik menatap pohon dan mengamati pisau kecil di tangannya.
“Aku sakit akhir-akhir ini…” timpal Baekhyun.
“Sudah periksa ke dokter?”
“Sudah.”
“Lalu?”
“Katanya aku hanya demam,” gumam Baekhyun, mengalihkan wajahnya. “Katanya aku akan baik-baik saja…”
“Hanya demam, eh?”
“Hanya demam.”
Chanyeol mengerutkan bibirnya dan mengacungkan pisaunya ke arah pohon. “Jadi, apa yang harus aku tulis?”
“Biner.”
Chanyeol mendengus, tapi tetap mengulum senyum lembut. “Kau selalu saja biner.”
“Kadang, angka bisa menyampaikan apa yang
tidak bisa dituturkan oleh kata-kata,” ujar Baekhyun, tersenyum balik.
“Kata-kata itu bersifat kabur, sedangkan angka adalah hal yang jelas.”
Mereka berhenti beberapa saat sampai
akhirnya Chanyeol bergerak dan Baekhyun menjabarkan urutan angkanya
pelan-pelan. Chanyeol menghabiskan waktu satu setengah jam sampai dia
selesai, dan itu tidak sia-sia. Keduanya berkelakar tentang masa lalu,
membuat mereka tergelak.
Baekhyun akhirnya tertawa untuk yang
pertama kalinya, mengingatkan Chanyeol pada sesuatu saat suara itu
memenuhi telinganya. Tawa ini yang membuatnya jatuh hati pada Baekhyun
dulu, di masa kuliah mereka. Sekarang, ketika mendengarnya lagi, hatinya
dihujam oleh banyak emosi. Dia tidak tahu apa yang harus dia rasakan,
dia hanya tahu bahwa ada sensasi hangat dalam dadanya, berdegup kencang.
Dan ketika semuanya usai, mereka berjalan
kembali seiring dengan langkah Baekhyun yang pelan, meninggalkan sebuah
ukiran pesan di batang pohon:
“01001001 00100111 01101101 00100000
01110011 01110100 01101001 01101100 01101100 00100000 01101001 01101110
00100000 01101100 01101111 01110110 01100101 00100000 01110111 01101001
01110100 01101000 00100000 01111001 01101111 01110101”
Jika saja Chanyeol mengerti angka biner, dia akan tahu apa yang berusaha disampaikan oleh deretan angka itu.
I’m still in love with you.
▲
Malam itu, sesuatu yang hangat memanjat
ranjang Chanyeol. Matanya menangkap sosok Baekhyun, berdiri membelakangi
sinar bulan di sisi tempat tidur. Lalu dengan suara pelan yang lirih,
Baekhyun berbisik, “Boleh aku tidur denganmu malam ini?”
Harusnya Chanyeol ragu, tapi tidak. Dia bergeser dan melipat selimutnya. “Kemari…”
Pelan-pelan, Baekhyun membaringkan
tubuhnya. Dia menjaga jarak, membelakangi Chanyeol, tapi justru lelaki
jangkung itu yang menariknya mendekat. Ini sebenarnya tidak perlu—tidak
ada perihal kontak fisik dalam perjanjian mereka, tapi Chanyeol
melingkarkan lengannya di sekitar pinggang kecil Baekhyun, membuatnya
terperanjat. Baekhyun bersandar dalam dekapan suaminya, mati-matian
menahan tangis dan mencoba untuk kembali tidur.
▲
2880
Hari kedua mereka habiskan dengan
menyanyi. Sudah lama Chanyeol tidak menyentuh gitar, dia terkejut ketika
ternyata jemarinya masih bisa memetik senar dengan baik. Dia
mengacaukan beberapa nada dan terlambat pada tempo tertentu, tapi
Baekhyun tetap memberinya tepuk tangan dan sebuah senyum, memujinya
karena sudah mengingat banyak hal setelah cukup lama tidak berlatih.
Sembari bermain gitar, Chanyeol juga
menyanyi. Tapi Baekhyun menyanyi lebih banyak, dia mencoba melakukannya.
Suaranya pecah dan dia tidak bisa mencapai nada tinggi seperti dulu.
Dia terlihat kesal, namun Chanyeol menyikutnya sambil melempar senyum.
Keduanya melanjutkan kegiatan mereka, Chanyeol yang memimpin dan
Baekhyun yang mengiringi nyanyiannya. Tidak ada yang keberatan jika
mereka bertukar bagian, suara keduanya masih selaras.
Ketika matahari turun dan bintang
bermunculan, Baekhyun membawa selimutnya keluar dan mengajak Chanyeol.
Di taman belakang rumah, Baekhyun menghamparkan selimut itu dengan
bantuan Chanyeol.
Mereka berbaring dalam diam, memandangi
bintang yang berkelip. Ketika Chanyeol berkata soal sulitnya melihat
bintang di kota, Baekhyun menimpalinya dengan merujuk pada polusi.
“Mereka membuatmu tidak bisa melihat langit. Mereka mengganggu.”
“Mereka membuatku tidak bisa melihat ini tiap malam.”
“Benar…” balas Baekhyun lemah. “Begitulah.”
▲
4320
Chanyeol tidak tahu apa sebelumnya Baekhyun seceroboh ini.
Awalnya Baekhyun menjatuhkan segelas air, terlihat seperti kecelakaan
tidak sengaja. Tapi ketika dia meraih gelas lain duapuluh menit kemudian
dan menjatuhkannya lagi, Chanyeol merasa ada yang salah.
Ketika mereka duduk diatas lantai ruang tengah, bersiap memainkan game yang Luna ambil dari gudang di atap, Chanyeol akhirnya bertanya. “Kau baik-baik saja, Baek?”
Sambil membersihkan papan permainan dari debu, Baekhyun mengangkat sebelah alis dan bergumam. “Ya, aku baik-baik saja.”
“Maksudku kesehatanmu,” jelas Chanyeol. “Apa benar itu hanya demam?”
“Kalau bukan itu, apa lagi?” Baekhyun mengedikkan bahu. “Aku lelah belakangan ini karena itu.”
Chanyeol merasa ada sesuatu yang janggal,
tapi dia tidak mendesak lebih jauh. “Kadang aku melihatmu meminum
obat,” ujarnya. “Apa itu untuk demam juga?”
Baekhyun terdiam sebelum dia mengangkat papan Monopolinya. “Ya… itu untuk demam juga. Kepalaku pening kadang-kadang.”
Sambil merapatkan bibirnya menjadi sebuah garis, Chanyeol membalasnya lagi, “Sepertinya kau harus periksa ke dokter lagi.”
“Sepertinya iya.”
Suasananya menjadi berat. Tapi begitu
permainan dimulai, semua kembali ringan. Mereka tidak taruhan seperti
biasanya, tidak ada yang berjanji untuk melepas baju tiap kehilangan
properti, tapi semua canda tawa dan senda-gurau yang mereka lemparkan
saat itu—semuanya nyata, bukan pura-pura.
▲
5760
Pada hari keempat, mereka bergelung dalam
selimut diatas sofa ruang tengah. Keduanya—bersama Luna yang duduk di
lantai—menonton Titanic, salah satu film kesukaan Baekhyun. Chanyeol
tahu Baekhyun pasti akan berurai air mata pada akhir cerita, tapi dia
salah. Lelaki kecil yang kelewat lelah untuk tetap terjaga diatas jam
sepuluh itu tertidur lelap, bersandar di pundaknya.
Baekhyun terlihat tenang dan lelap dalam
kegelapan, walau hanya diterangi oleh pantulan cahaya televisi. Chanyeol
pikir Baekhyun akan terbangun pegal bila terus tertidur dalam posisi
ini, maka dia beranjak dari sofa dan mengangkat Baekhyun di lengannya.
Luna berdiri, juga, membuntut di belakang
Chanyeol hingga dia menidurkan Baekhyun diatas ranjangnya sendiri.
Setelah melepasi sepatunya dan menarik selimut hingga menutupi tubuh
lelaki mungil itu, Chanyeol berbalik pada Luna, yang sedari tadi
memperhatikannya.
“Apa dia selalu lelah seperti ini?”
Ada jeda sesaat. “Tidak juga,” balasnya kemudian.
Mendelik pada sosok Baekhyun yang tertidur, Chanyeol menghela napas. “Dia bilang dia sedang demam.”
“Demam…” Luna bergumam.
“Beri tahu dia untuk segera periksa kalau ini tambah parah.”
Luna baru saja akan berkata lagi, tapi
gagal menemukan kalimat yang diinginkannya. Dia meregangkan bahunya dan
mengangguk. “Aku akan beri tahu dia.” Dia berdiri disana beberapa saat
sebelum berpikiran bahwa Chanyeol ingin ditinggal berdua saja dengan
Baekhyun. Dia meninggalkan kamar itu.
Begitu Luna pergi, Chanyeol beralih pada
Baekhyun sepenuhnya. Dengan sebuah gerakan, dia menyisir rambut
Baekhyun yang jatuh di wajahnya. Ketika jarinya menyentuh helai rambut,
dia merasakannya. Rambutnya tidak lagi lembut dan halus—tidak seperti
yang dia ingat. Chanyeol tidak tahu apa yang harus dipikirkannya. Dalam
benaknya, dia berpikir mungkin alasannya karena stres. Dia berbalik ke
belakang dan melihat laptop milik Baekhyun yang terbuka.
Akhirnya, Chanyeol beranggapan bahwa
Baekhyun hanya stres karena bekerja berlebihan pada buku barunya.
Membungkuk pelan, Chanyeol merasa ragu awalnya, tapi hasratnya ternyata
lebih kuat. Dia mengecup dahi Baekhyun, berlama-lama, sebelum kemudian
mundur dan keluar dari ruangan.
▲
7200
Selama masa renggang hubungan mereka,
Chanyeol terlampau sibuk sampai tidak mengacuhkan cerita-cerita Baekhyun
dan kerjaannya sama sekali. Dia tahu kesukaan Baekhyun, tapi dia tidak
peduli karena terlalu lelah dengan pekerjaannya. Sore itu, untuk pertama
kalinya, Chanyeol merebahkan diri dan mendengarkan cerita rancangan
Baekhyun.
Baekhyun bergerak lambat, dan Chanyeol
sudah mulai terbiasa dengan hal ini sekarang. Dia juga sudah terbiasa
dengan ingatan Baekhyun yang buruk—ia tiba-tiba saja lupa banyak
hal—atau respon terlambat darinya. Sering kali Baekhyun mengusap mata
dan memejamkannya rapat-rapat. Sementara Chanyeol, dengan niat berusaha
membantu, akan mengambilkan air minum untuknya.
Kertas-kertas bertebaran diatas lantai
ruang tengah. Chanyeol mengamati Baekhyun yang kesusahan menyusun
lembaran kertas itu sesuai keinginannya—kalau memang itu yang membuatnya terlihat bingung sedari tadi.
“Jadi,” Baekhyun memulai, “semua ini adalah ide dan rancanganku.”
“Banyak sekali,” timpal Chanyeol, mengamati kertas berantakan diatas lantai. “Apa ini ide-idemu yang dulu?”
“Tidak. Aku membuang semua yang kumiliki waktu itu.”
Chanyeol mengangkat sebelah alis. “Semua?”
Sambil mengangguk, Baekhyun mengulangi. “Aku membuang semuanya di akhir musim semi.”
“Kenapa?”
“Aku ingin mulai dari awal. Aku baru sadar aku hanya menulis hal konyol.”
“Yah, hal konyol kan memang kesukaanmu. Benar?” Chanyeol tersenyum padanya.
“Benar, tapi aku ingin coba sesuatu yang berbeda.”
Melirik kalimat yang tertera diatas kertas, Chanyeol menyeringai. “Aku yakin hasilnya pasti bagus. Seperti sebelumnya.”
Ketika menatap Chanyeol, matanya berkilap. Bibirnya membentuk sebuah senyum. “Terimakasih, Yeol.”
“Sama-sama.”
Setelah beberapa saat, dia bertanya, “Apa kau akan membacanya?”
Chanyeol mengerjapkan mata. “Bukumu?”
Baekhyun membalas sambil mengangguk, “Ya,
jika sudah diterbitkan.” Kemudian dia melanjutkan, “Aku tidak akan
memaksamu untuk membaca itu. Sudah kubilang, satu minggu ini adalah hal
terakhir yang kuminta darimu…”
Hatinya melengos, Chanyeol mengulurkan tangan dan memutar wajah Baekhyun ke arahnya. “Aku akan membacanya.”
Ketimbang senang, Baekhyun malah terlihat
sedih, berkebalikan dengan apa yang Chanyeol harapkan. Baekhyun
mengangguk lagi sembari mengigit bibirnya. “Terima kasih.”
“Tidak masalah.”
Ketika Baekhyun diam sesaat untuk
memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam, Chanyeol menatapnya
dengan miris. “Sakit kepala?”
“Ya…” ucap Baekhyun lirih. “Sakit kepala.”
▲
8640
Chanyeol menatap pesan-pesan dari
Kyungsoo di layar ponsel. Dia membalasnya dengan singkat sebelum
mematikan kembali ponselnya. Dia menapakkan kakinya ke dapur dan
menemukan Luna disana sendirian, sesuai dengan yang dia inginkan.
Tangannya menepuk pundak Luna, tapi Chanyeol mundur dengan spontan
ketika sang gadis berbalik dengan pisau dalam genggamannya.
“Oh,” katanya. “Hai, Chanyeol.”
“Hai.” Chanyeol menegakkan badan dan
membetulkan bajunya—yang dia yakin pasti baju bekas masa kuliahnya dulu.
“Aku ingin minta tolong padamu.”
Luna menatapnya. “Minta tolong apa?” tanya si gadis, hati-hati.
“Bisakah kau buatkan makanan kesukaan Baekhyun malam ini? Dan apa kau punya wine?”
“Wine…”
“Sebagai pengiring makan malam,” jelasnya.
“Kupikir Baekhyun lebih baik minum air saja, Chanyeol…” gumam Luna.
Chanyeol terperanjat, namun kemudian dia mengangguk. “Baiklah. Tanpa wine. Tapi bisakah kau buatkan makanannya?”
Luna meletakkan pisaunya diatas konter, lalu melipat lengan. “Apa yang akan kau lakukan?”
“Aku ingin memberinya makan malam yang menyenangkan.”
“Kenapa?”
“Ini malam terakhirku disini.”
Luna menghela napas. “Chanyeol, jangan.
Melakukan semua hal ini tidak akan membantunya sama sekali. Kau tahu kau
hanya akan menyakitinya, kan? Kau berbuat sejauh ini dalam semalam,
tapi kau hanya akan meninggalkannya esok hari. Aku tahu kau berusaha
berbaik hati, tapi ini terlalu kejam.”
Rahangnya terasa kaku, Chanyeol tidak
tahu apa yang harus dia katakan. “Aku ingin melakukannya. Bukan untuk
menyakiti Baekhyun, tapi untuk membalasnya selama ini.”
“Apanya yang akan kau balas? Kau akan meninggalkannya besok demi orang lain.”
Chanyeol mundur satu-dua langkah, hatinya
sakit. Yang dikatakan Luna benar, itu adalah kenyataan. Besok dia akan
pergi dari rumah ini dengan surat cerainya, dan dia tidak akan kembali
lagi. Dia akan meninggalkan Baekhyun tanpa apa-apa, hanya sebuah rumah
dan sejumlah uang. Rasanya menyakitkan, sekarang adalah malam sebelum
kepergiannya dan Chanyeol tidak tahu bagaimana cara menghadapinya.
Chanyeol menelan ludahnya dengan susah payah. “Luna, malam ini saja. Kumohon.”
Luna menatapnya dengan tajam lalu berbalik membelakanginya. “Ya sudah.”
“Terima kasih,” balas Chanyeol, menghela napas dengan lega.
Setelah beberapa detik, Luna tiba-tiba bertanya. “Apa kau masih mencintainya?”
“Pertanyaan macam apa itu?” Chanyeol mendesis, ragu dengan jawabannya.
“Pertanyaan yang masuk akal.”
Tenggelam dalam pikirannya, Chanyeol
sadar bahwa ternyata dia tidak tahu jawabannya. Hatinya berselisih. Kata
‘rumah’ bukan lagi sesuatu yang berarti jelas baginya. Hari-hari yang
dia lewatkan di rumah terasa lebih hangat ketimbang rutinitasnya di
apartemen kota—yang sudah dia jalani selama bertahun-tahun. Suara tawa
Baekhyun membuatnya nyaman dan tenang, sementara milik Kyungsoo hanya
terdengar seperti tiruan yang mirip dengan Baekhyun. Chanyeol menyadari
Baekhyun terlihat lebih lelah dan sayu sekarang, tapi dia masih bisa
mendapati percikan api yang terpancar dari dua matanya.
Harusnya dia tidak ragu untuk menjawab ini, tapi otaknya—yang mengatur semua perasaan dan tindakannya—mengacaukan semuanya, hatinya, membuat
Chanyeol tenggelam dalam kebingungan. Hatinya masih mencintai Baekhyun,
tapi yang terbayang dalam kepalanya hanya Kyungsoo.
Setelah tidak mendapat respon juga, Luna
mengedikkan bahunya. “Lupakan saja. Aku akan memasak untukmu malam ini.
Tolong buat dia bahagia, walau hanya untuk satu malam.”
▲
Ruangan itu dibuat remang, hanya diterangi oleh cahaya lilin yang redup. Sajian makan malam tergeletak diatas meja dengan rapi.
Baekhyun berjalan masuk dan menggigit
bibirnya keras-keras, sampai dia pikir nyaris berdarah. Dia ingin keluar
dan lari jauh-jauh karena ini semua terlihat semu. Tetapi ketika
punggungnya menubruk Chanyeol di belakang—yang mendesaknya masuk dengan
dorongan di pundaknya—Baekhyun tidak punya pilihan lain.
Tepat setelah mereka menempati kursinya,
makan malam dimulai. Untuk beberapa menit pertama sepi—tidak ada yang
bicara, tapi lambat laun percakapan mulai berjalan. Keadaannya makin
membaik ketika Baekhyun tersenyum memamerkan gigi, mengomentari
penampilan mereka. Chanyeol mengenakan kaus polos dan celana pendek,
sedangkan Baekhyun hanya berbalut t-shirt dan bawahan piyama. Keduanya bukan penampilan yang cocok untuk acara makan malam romantis macam begini.
Saat mereka usai, Baekhyun beranjak dari
meja makan sambil menuturkan terima kasih, berniat untuk pergi mencuci
tangannya. Tapi Chanyeol punya rencana lain. Dia menarik lengan Baekhyun
menuju ruang tengah, yang juga remang-remang. Beberapa lilin dengan
aroma lembut diletakkan di beberapa tempat, persis seperti di ruang
makan sebelum ini.
Chanyeol kemudian menekan tombol remote,
menghidupkan musik yang mengalir pelan dalam ruangan. Ketika itu,
Baekhyun bergetar kecil, dia tidak bisa menghadapi semua ini. Dia ingin
jatuh lemas di atas lantai, tapi lengan Chanyeol menahannya. Chanyeol
melingkari pinggang si lelaki kecil, lalu tangannya yang lain masuk ke
dalam sela-sela jemari Baekhyun. Mereka bergerak mengayun dari satu sisi
ke sisi lainnya.
Sungguh momen yang manis, tapi untuk
Baekhyun, ini juga menyakitinya. Walaupun Chanyeol menyandarkan wajahnya
diatas kepala Baekhyun, dan walaupun mereka masih berayun mengikuti
irama lembut yang mengalun; dia bisa mendengar suara rintihan tangis
Baekhyun.
Chanyeol mendekap Baekhyun lebih erat,
dia menggigit bibir dan memejamkan matanya rapat-rapat. Dia mengabaikan
rasa sesak di tenggorokannya dan setengah mati menahan desakan untuk
diam-diam menangis juga.
▲
10080
Pagi tiba, dan rasanya Chanyeol tidak
ingin kembali ke kota lagi. Tapi dia harus. Kehidupannya menunggu. Dia
memang seharusnya berada disana, tempat Kyungsoo berada. Sambil menghela
napas panjang, dia beranjak dari ranjang dan memeriksa ponselnya. Ada
banyak panggilan masuk dari kekasihnya dan Chanyeol pikir mungkin sudah
waktunya untuk menelepon balik.
Dia dibanjiri pertanyaan ketika Kyungsoo
mengangkat teleponnya. Berkali-kali terlontar “Kenapa kau tidak
meneleponku balik?!” dan “Kau mengabaikan pesan-pesanku!”—tapi begitu
Kyungsoo sudah kembali tenang, Chanyeol menjelaskan bahwa dia akan
pulang pagi ini. Dengan gusar, Kyungsoo mengiyakan, mendesaknya untuk
segera pulang agar mereka bisa melanjutkan kehidupan mereka. Setelah
itu, sambungan telepon diputus.
Chanyeol melepas pakaian yang dia pakai
di rumah ini—yang membuatnya terlihat seperti dirinya yang dulu—dan
kembali mengenakan pakaiannya ketika dia tiba pertama kali. Dia menata
rambut dan merapikan jasnya. Lantas dia menatap cermin lagi, mengenali
si bajingan yang telah menjadi dirinya selama ini.
Di dapur, dia mendapati Baekhyun tengah
duduk diatas meja makan. Ketika lelaki itu mengangkat wajahnya, Chanyeol
menyadari bahwa kedua matanya lebam dan merah. Kentara sekali Baekhyun
menangis, dan ini membuat hatinya jumpalitan—apalagi ketika Baekhyun
tersenyum padanya.
“Selamat pagi.”
“Pagi.”
Keheningan menyelimuti ruangan itu ketika
Baekhyun beralih pada berkas yang ada di depannya. Dia mengulurkannya
pada Chanyeol menggunakan kedua tangan, seolah satu tangan saja tidak
mampu untuk mengangkat berkas itu. “Semuanya sudah ditandatangani.”
Chanyeol meringis ketika dia mengambil
berkas tersebut dari Baekhyun. Jemarinya bergetar, tapi Chanyeol mencoba
untuk mengabaikannya. “Terima kasih.”
Baekhyun mengangguk, lalu memalingkan mukanya. “Apa kau akan sarapan disini?” bisiknya lemah.
“Tidak…” balas Chanyeol pelan. “Aku harus kembali ke kantor siang ini… Aku harus pergi secepat mungkin.”
Tanpa menatapnya, Baekhyun menganggukkan
kepala. “Aku mengerti.” Matanya bergulir ke arah Chanyeol untuk yang
terakhir kalinya, dan Baekhyun tersenyum, sakit. “Terima kasih untuk semuanya, Yeol,” tuturnya dengan suara yang bergetar.
Hatinya seperti dilubangi. Chanyeol ingin
menarik Baekhyun dari tempatnya duduk dan menciumnya, menangis, dan
melakukan apapun yang bisa membuatnya merasa lebih baik. Dia ingin
memperbaiki semua ini. Dia ingin tinggal, Chanyeol benar-benar tidak
ingin pergi. Dia tidak ingin kembali ke kantor atau apartmentnya. Hatinya meraung-raung ingin tinggal di tempat yang dia sebut rumah, tapi tubuhnya tidak berpikir demikian.
Dengan raut datar, Chanyeol menelan ludah
dan mengangguk pelan, sementara Baekhyun kembali mengalihkan wajah.
“Tidak masalah. Terima kasih untuk…. berkasnya.” Chanyeol tahu Baekhyun
tidak akan menimpalinya, jadi dia melanjutkan kalimatnya. “Jaga diri
baik-baik, Baek.”
“Selamat tinggal, Yeol,” tutur Baekhyun
dengan pelan, nyaris seperti bisikan. Wajahnya masih menghadap arah
lain, bersikeras tidak mau berpaling.
Disamping semuanya, Chanyeol bersyukur
Baekhyun tidak mau menatapnya balik. Kalau tidak, mungkin dia bisa
melihat raut sesal pada wajahnya. Dengan berat hati, Chanyeol berbalik
meninggalkan tempat yang ingin dia sebut rumah, tempat dimana seharusnya
dia berada.
“Selamat tinggal, Baek…”
▲
Ketika Chanyeol kembali ke apartmen,
terasa seperti ia kembali sebagai pria yang berbeda. Aneh bagaimana
waktu satu minggu membuatnya membenci apa yang terjadi selama dua tahun
terakhir dan apa yang telah ia lakukan. Kyungsoo menyambutnya dengan
senang, tetapi Chanyeol menemukan dirinya sulit untuk tersenyum. Ia
ingin menangis, tapi ia tidak bisa. Ia tidak ingin menangis karena jika
itu terjadi maka pikirannya akan kembali ke Baekhyun. Ia justru memaksa
dirinya untuk memeluk Kyungsoo.
▲
Empat bulan berlalu dan Chanyeol merasa
dirinya terombang-ambing dalam hidup. Musim gugur susah di pertengahan
musim—mungkin sedang akan berakhir—dan warna pepohonan telah berubah.
Tidak hanya dedaunan yang berubah, namun status pernikahannya juga telah
berubah. Cincin yang melingkar di jarinya bukan lagi yang dulu ia tukar
dengan Baekhyun, namun cincin baru yang didesak Kyungsoo untuk mereka
miliki. Ia bertunangan untuk yang kedua kali dalam hidup dan Chanyeol
mengakui kepada dirinya sendiri bahwa yang kedua kali ini ia tidak
merasa sebahagia saat pertama.
Ketika akhirnya mendapatkan waktu libur,
Chanyeol sendirian berjalan-jalan di taman untuk merenung. Ia masih
merasa hampa, terutama dengan adanya pepohonan, Karena itu
mengingatkannya kepada pria mungil berambut coklat yang biasa mengukir
nama mereka di pepohonan.
Memikirkan Baekhyun adalah hal yang ia
lakukan sehari-hari. Namun, itu tidak membantu. Chanyeol masih merasa
seperti dirinya berwarna hitam dan putih sementara sekitarnya penuh
warna—ada sesuatu yang mengganjal, tapi ia tidak bisa melakukan apa-apa
untuk menghapus rasa itu. Seluruh darah yang mengalir ditubuhnya seakan
habis terkuras ketika ia membuka pintu dan pengacara Baekhyun berdiri di
lorong. Pada awalnya, Chanyeol pikir itu tentang perceraian mereka. Di
satu sisi, ia berharap Baekhyun mengubah pikirannya, memberikan Chanyeol
alasan untuk menghentikan ini semua. Tapi hidup begitu kejam dan yang
terjadi adalah bukan yang ia pikirkan.
Pengacara itu berada di sana untuk
sesuatu yang lebih suram; sesuatu yang mengerikan. Dan bahkan sebelum
pengacara menjelaskan detail aset dan uang, Chanyeol jatuh terduduk di
lantai.
Mereka mengatakan padanya itu kanker otak.
Itu bukanlah flu,untuk waktu yang lama
Chanyeol marah karena suaminya yang telah meninggal berbohong. Ia marah
karena kenyataannya Baekhyun tidak pernah mengatakan hal itu padanya dan
selama ini Baekhyun menahan rasa sakit itu. Setelah mendengar itu
barulah ia menyadari semuanya.
Sakit kepala Baekhyun yang kuat dan
menyakitkan, gerakannya yang lambat, lemah, rasa lelah, ia yang sering
lupa, kecerobohannya dan sikap protektif Luna yang berlebihan. Semua itu
melebur jadi sebuah fakta. Dan ia masih memiliki kekuatan untuk
tersenyum dan berpura-pura seakan-akan semuanya baik-baik saja, dan
fakta itu menusuk Chanyeol tepat di hati. Baekhyun telah menderita dan
kondisinya memburuk, dan ia memiliki pikiran kejam untuk melukainya,
bahkan lebih kejam dengan memintanya menandatangai dokumen perceraian.
Perlu waktu untuk Chanyeol pulih, tapi ia
tahu ia tidak akan pernah pulih dari perasaan itu.
Kesalahan-kesalahannya mengikat jiwanya dan itu adalah sesuatu yang
tidak bisa ia hapus. Penyesalan membekas selamanya. Ia menyesal tidak
mendengarkan kata hati, ia menyesal ia terlalu sibuk untuk sekedar
menjaga hubungan mereka, ia menyesal lebih memilih pekerjaan
dibandingkan suaminya sendiri; penyesalan Chanyeol begitu banyak hingga
itu cukup membuatnya gila.
Tapi, ia harus melanjutkan hidup walau seberapa besar hal itu menyakitinya.
Ia mengambil nafas dalam dan memandangi
langit, menatap langit seiring dengan nafasnya yang membuat hembusan
asap putih karena udara dingin saat itu. Dengan beban berat di pundak,
ia terus berjalan pulang menuju rumah, yang baginya bukanlah rumah.
Rumah adalah bangunan kecil jauh di pedesaan yang pernah ia tinggali
bersama Baekhyun. Rumah tidak terletak di kota. Tidak pernah begitu.
Sambil berjalan, ia terus menunduk hingga
berada di ujung blok. Bersama dengan orang-orang lain, ia menunggu
lampu pejalan kaki menyala, matanya menatap sekeliling hingga terpaku
pada sebuah toko buku besar tepat di belakangnya. Ia harusnya
mengalihkan pandangan dan mengabaikan toko itu, tapi wajah dan nama yang
terpajang di etalase menarik matanya. Lampu pejalan kaki menyala
berwarna hijau. Orang-orang berjalan. Chaneyeol berjalan ke arah lain.
Ia memasuki toko dan langsung menuju rak
buku-buku baru. Mengambil satu, matanya memperhatikan buku itu dengan
jantung berdetak cepat dan tangan terkepal.
Itu buku terakhir Baekhyun. Buku yang ia minta Chanyeol untuk membacanya.
Tanpa keraguan, Chanyeol langsung membawa buku itu ke kasir dan membelinya.
▲
Malam itu ketika Kyungsoo lembur hingga
malam di kantor, Chanyeol membaca buku itu dan menangis. Ketika ia
membaca catatan penulis di halaman awal, ia tidak mengerti mengapa
Baekhyun memilih untuk menulis itu hingga ia membacanya. Dan setelah
Chanyeol membaca setiap kata dan ia menutup buku itu, tangis membasahi
wajahnya dan ia menyadari buku itu adalah kisah mereka, namun dengan akhir yang berbeda yang diam-diam diinginkan oleh hati mereka.
“Seorang giant selalu
mengatakan padaku bahwa percuma untuk menangis di akhir sebuah film
hanya karena akhir film itu tidak seperti yang kita inginkan, karena itu
tidak akan mengubah apapun, dan aku selalu bertanya padanya apakah itu
salah untuk mengharapkan akhir yang berbeda.”
Tidak mampu menahan lagi, Chanyeol
melempar buku itu ke atas ranjang—mengambil jaket dan meninggalkan
apartemen. Tanpa sepengetahuannya, ketika buku itu tehempas, terbuka di
salah satu halaman terakhir dimana Baekhyun menulis pesan terakhirnya.
“01010100 01101000 01100001 01101110
01101011 00100000 01111001 01101111 01110101 00100000 01100110 01101111
01110010 00100000 01101100 01101111 01110110 01101001 01101110 01100111
00100000 01101101 01100101 00100000 01100101 01110110 01100101 01101110
00100000 01101001 01100110 00100000 01101001 01110100 00100000 01110111
01100001 01110011 00100000 01101010 01110101 01110011 01110100 00100000
01100110 01101111 01110010 00100000 01100001 00100000 01110111 01100101
01100101 01101011 00100000 01100001 01101110 01100100 00100000 01110100
01101000 01100001 01101110 01101011 00100000 01111001 01101111 01110101
00100000 01100110 01101111 01110010 00100000 01101101 01100001 01101011
01101001 01101110 01100111 00100000 01101101 01100101 00100000 01100110
01100101 01100101 01101100 00100000 01100001 01110011 00100000 01101001
01100110 00100000 01111001 01101111 01110101 00100000 01101100 01101111
01110110 01100101 01100100 00100000 01101101 01100101 00100000 01100001
01100111 01100001 01101001 01101110 00101110 00100000 01011001 01101111
01110101 00100000 01110100 01101111 01101111 01101011 00100000 01101101
01100101 00100000 01100010 01100001 01100011 01101011 00100000 01110100
01101111 00100000 01100001 00100000 01110100 01101001 01101101 01100101
00100000 01110111 01101000 01100101 01101110 00100000 01111001 01101111
01110101 00100000 01101100 01101111 01110110 01100101 01100100 00100000
01101101 01100101 00100000 00100000 01100001 01101110 01100100 00100000
01110100 01101000 01100001 01110100 00100111 01110011 00100000 01100001
01101100 01101100 00100000 01001001 00100000 01100011 01101111 01110101
01101100 01100100 00100000 01100101 01110110 01100101 01110010 00100000
01100001 01110011 01101011 00100000 01100110 01101111 01110010 00100000
01101001 01101110 00100000 01110100 01101000 01101001 01110011 00100000
01110011 01101000 01101111 01110010 01110100 00100000 01101100 01101001
01100110 01100101 01110100 01101001 01101101 01100101 00101110 00100000
01001001 00100000 01101100 01101111 01110110 01100101 00100000 01111001
01101111 01110101 00101100 00100000 01100111 01101001 01100001 01101110
01110100 00101110 00100000 01010100 01101000 01100001 01101110 01101011
00100000 01111001 01101111 01110101 00100000 01100110 01101111 01110010
00100000 01100101 01110110 01100101 01110010 01111001 01110100 01101000
01101001 01101110 01100111 00101110 00101110 00101110″